Bloomberg Technoz, Jakarta - Lonjakan harga pangan utama masyarakat Indonesia, yaitu beras, yang sampai saat ini belum terbendung di tengah gelombang pemutusan hubungan kerja yang masih tinggi, ditambah pelemahan nilai tukar rupiah yang membebani perekonomian, kian mengikis tingkat keyakinan masyarakat ke level terendah sejak sembilan bulan terakhir.
Optimisme masyarakat RI terhadap kondisi perekonomian ke depan, juga keyakinan terhadap masa depan pendapatan serta ketersediaan lapangan kerja, kompak melemah pada September, menurut laporan Bank Indonesia yang dirilis hari ini (9/10/2023).
Dengan dampak El Nino terhadap pasokan pangan yang belum memuncak akan tetapi telah membakar harga beras ke level tertinggi 10 tahun, terpampang risiko lebih besar ke depan yang bisa semakin menggerus keyakinan masyarakat terhadap kondisi perekonomian domestik.
Kini, ditambah keterpurukan nilai tukar rupiah yang terus tertekan ketidakpastian global dari Amerika Serikat ditambah krisis Jalur Gaza, mulai terbuka potensi kenaikan bunga acuan Bank Indonesia setelah terjeda sejak Februari.
Bila terjadi pengetatan lagi, daya beli masyarakat dicemaskan akan terus tergencet dengan inflasi inti bulan lalu sudah di level 2%, turun sembilan bulan berturut-turut. Bunga yang lebih mahal juga bisa semakin mengerem langkah korporasi melanjutkan ekspansi di tengah kelesuan permintaan global yang masih tebal. Imbas lebih lanjut, lapangan kerja semakin sulit bahkan angka PHK bisa kian besar.
Beras Mahal Kikis Daya Beli
Inflasi harga beras telah memecah rekor baru dengan melejit ke level tertinggi dalam hampir 10 tahun terakhir. Selama September, menurut catatan Badan Pusat Statistik, harga beras naik 18,44% year-on-year dan memberi andil kenaikan inflasi bulan lalu sebesar 0,55%.
Kenaikan harga beras itu adalah yang tertinggi sejak 2014, sementara kenaikan selama September yang mencapai 5,61%, menjadi yang tertinggi sejak Februari 2018.

Beras sejauh ini masih menjadi makanan utama masyarakat Indonesia di mana bagi kalangan rentan pengeluaran pangan menjadi salah satu pengeluaran terbesar, hampir memakan 20% konsumsi. Kenaikan harga beras dipastikan akan mengikis daya beli masyarakat untuk pengeluaran lain, tersedot pengeluaran untuk pangan.
Bank Indonesia mencatat, proporsi pengeluaran untuk konsumsi masyarakat pada September, meningkat di hampir semua kelompok pengeluaran yaitu menjadi 76,3%, dari 75,6% pada Agustus.
Kelompok pengeluaran dengan nilai pendapatan Rp2,1 juta-Rp3 juta dan kelompok Rp4,1 juta-Rp5 juta, mencatat lonjakan pengeluaran konsumsi terbesar. Bahkan bagi kelompok pengeluaran bawah yaitu Rp1 juta-Rp2 juta, proporsi pendapatan untuk konsumsi mencapai level tertinggi setidaknya sejak September 2021.
Sementara porsi pendapatan yang disimpan atau ditabung, terpantau menurun terutama di kelompok pengeluaran Rp2,1 juta-Rp3 juta.
Peningkatan pengeluaran untuk konsumsi itu terjadi bersamaan dengan penurunan keyakinan masyarakat dalam membeli barang tahan lama (durable goods) yang terjadi di hampir semua kelompok pengeluaran. Bahkan untuk kelompok pengeluaran di bawah Rp3 juta per bulan, indeksnya telah berada di zona kontraksi di bawah 100.
Situasi ini kemungkinan akan semakin memburuk dengan ancaman El Niño yang semakin nyata.
"Inflasi harga pangan kami perkirakan mencapai 6,5% year-on-year pada akhir 2023 dan puncaknya sebesar 7,7% di Juli 2024," kata Lionel Prayadi, Macro Strategist Samuel Sekuritas dalam catatannya, awal pekan ini.
PHK Masih Marak
Harga pangan yang semakin mahal berlangsung di tengah kelesuan perekonomian global yang telah memengaruhi laju ekspansi korporasi.
Minat pelaku usaha menambah pembiayaan baru, misalnya, masih belum bangkit. Hasil survei BI yang dirilis September lalu mencatat, korporasi masih belum bersemangat mencari pembiayaan baru untuk ekspansi, terutama di sektor industri pertanian, perdagangan, transportasi dan pergudangan.
"Perlambatan terjadi terutama sebagai dampak penurunan kegiatan operasional karena lemahnya permintaan domestik dan ekspor, serta penundaan sejumlah rencana investasi," jelas BI.
Ekspansi tertahan, yang terjadi justru perusahaan terdesak melakukan efisiensi terus menerus yang salah satunya berujung pada pengurangan tenaga kerja.
Selama Januari-Juni 2023, sedikitnya 26.400 orang tenaga kerja di Indonesia kehilangan pekerjaan, menurut data Kementerian Tenaga Kerja.
Yang terbaru adalah badai PHK di industri tekstil di mana selama September lalu hampir 5.000 karyawan pabrik tekstil kehilangan pekerjaan, menurut data Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara.
Lanskap suram itu memengaruhi tingkat keyakinan masyarakat terhadap ketersediaan lapangan kerja ke depan. Indeks Ekspektasi Ketersediaan Lapangan Pekerjaan pada 6 bulan ke depan menurun di hampir semua kelompok usia dan pendidikan.
Begitu juga ekspektasi terhadap perkembangan kegiatan usaha ke depan kompak menurun, dengan penurunan terdalam di kelompok berpengeluaran di bawah Rp3 juta per bulan.
Rupiah dan Bunga Tinggi
Kini dengan pelemahan rupiah yang terlihat masih akan berlangsung beberapa waktu ke depan, mengemuka potensi kenaikan bunga acuan untuk membendung pelemahan nilai tukar lebih lanjut.
Itu akan menjadi kabar buruk bagi perekonomian RI yang sejauh ini masih berusaha bertahan di tengah tekanan kelesuan global.

Inflasi Indonesia sudah jinak dengan laju inflasi inti bahkan sudah berada di level terendah sejak Februari 2022. Inflasi inti kerapkali dilihat sebagai salah satu ukuran daya beli masyarakat.
Kenaikan bunga acuan lebih lanjut ke level 6% mungkin akan mengerem tekanan pada rupiah. Akan tetapi, pertumbuhan ekonomi akan menjadi taruhan selanjutnya.
Bunga kredit tinggi, harga beras mahal, ketersediaan lapangan kerja yang masih seret dan PHK yang menghantui, bukanlah kombinasi yang bagus terlebih di tengah panasnya tahun politik jelang perhelatan besar Pemilihan Umum 2024.
(rui/aji)