Berdasarkan catatan Bloomberg, jalur ini menjadi tuan rumah bagi pergerakan hampir 17 juta barel minyak mentah dan kondensat setiap harinya.
Anggota OPEC —penghasil minyak utama seperti Arab Saudi, Irak, dan Uni Emirat Arab— mengapalkan minyak mentahnya ke berbagai penjuru dunia melalui jalur tersebut.
“Selat Hormuz berpotensi menjadi salah satu instrumen eskalasi perang,” tutur Ahmad.
Dia pun memperkirakan eskalasi perang Israel-Hamas dapat mengerek harga minyak dunia kembali ke level maksimal US$95/barel, setelah sempat melandai ke kisaran US$82—US$83 per barel pada penutupan perdagangan Jumat pekan lalu.
Konflik Israel-Hamas yang memanas sejak kurang lebih 3 hari lalu ini, kata dia, telah berhasil mengerek harga minyak dunia ke level US$88/barel, setelah selama 10 hari terakhir sebelumnya turun hingga 10% karena kekhawatiran pasar global tentang suku bunga yang tinggi dan pertumbuhan yang melambat.
Meski demikian, Zuhdi berpendapat bahwa konflik Israel melawan kelompok militan dari Gaza, Palestina ini tidak akan mengulangi krisis minyak yang terjadi pada 1973, saat serangan pada perayaan Yom Kippur di negara Yahudi itu.
"Karena saat ini perang utamanya terjadi antara Israel dan Palestina, di mana keduanya memiliki pengaruh yang kecil terhadap persediaan minyak dunia," jelasnya.
"Kami melihat tidak akan terlalu besar [dampaknya ke anomali harga minyak], karena sisi permintaan sendiri memberikan tekanan yang lebih besar ke harga. Kami melihat akan berada di bawah US$95/barel," sambungnya.
Per hari ini, Senin (9/10/2023), harga minyak West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman November sendiri telah naik menjadi US$86/barel, atau sekitar 4,5% sejak akhir pekan lalu.
Harga minyak Brent untuk pengiriman Desember juga telah naik 3,5% sejak pekan lalu menjadi US$87,55/barel.
(wdh)