"BI akan mulai menimbang kenaikan BI7DRR sebesar 25 bps menjadi 6% pada kuartal IV ini dengan situasi tersebut," kata Macro Strategist Samuel Sekuritas Lionel Prayadi dalam catatan, Senin (9/10/2023).
Data nonfarm payrolls yang dirilis Amerika pada Jumat pekan lalu memperlihatkan kondisi pasar tenaga kerja di negeri itu masih terlalu tangguh sehingga menyulitkan upaya menjinakkan inflasi AS. Alhasil, potensi kenaikan bunga acuan AS pada November atau Desember nanti semakin tinggi.
Tingkat imbal hasil US Treasury bisa kian melejit ke 5%. Hal itu akan semakin memupus minat asing terhadap aset-aset rupiah seperti SBN dan saham.
"Yield INDOGB 10 tahun akan semakin turun menuju 7,2%, dengan skenario bullish di mana selisih imbal hasil dengan UST mencapai 220 bps menyusul ketahanan ekspansi perekonomian AS tahun ini," jelas analis.
Selanjutnya, para investor global akan fokus menanti data inflasi Amerika yang akan dirilis Kamis pekan ini dengan konsensus memperkirakan inflasi IHK utama dan inti akan turun menjadi 3,6% dan 4,1% year-on-year dari 3,7% dan 4,3% pada Agustus.
"Itu akan mengkonfirmasi kemungkinan kenaikan suku bunga Fed pada Desember," kata Lionel.
Upaya BI menahan rupiah melalui intervensi juga akan dibatasi oleh kekuatan nilai cadangan devisa. Pada September lalu, posisi cadangan devisa Indonesia menurun menjadi US$ 134,9 miliar di mana nilai cadangan devisa likuid menurun jadi US$ 121,7 miliar, turun dibanding Agustus sebesar US$ 123,7 miliar.
Nilai cadangan devisa likuid itu setara dengan 5,5 bulan impor atau 5,4 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri jangka pendek.
Penurunan cadangan devisa tidak bisa dilepaskan dari kebutuhan intervensi rupiah yang tergerus 1,5% selama September lalu. Bila aksi jual terus berlangsung di pasar akibat penyempitan yield surat utang, nilai cadangan devisa dapat semakin terperosok.
Sebagai gambaran, ketika pandemi Covid pecah pada Maret 2020 di mana nilai rupiah terperosok ke level terlemah sepanjang sejarah republik di Rp16.657/US$, nilai cadangan devisa RI tergerus ke US$ 120,96 miliar, anjlok hingga US$ 10 miliar hanya dalam sebulan. Ketika itu modal asing hengkang dari pasar surat utang sampai Rp100 triliun selama 2020.
Lalu, saat the Fed memulai kenaikan bunga acuan awal 2022 lalu, hanya dalam 8 bulan posisi cadangan devisa tergerus hingga US$ 12,7 miliar ke level US$ 132,2 miliar pada Agustus, bulan ketika BI akhirnya menaikkan bunga acuan pertama kali setelah sekian lama. Setelah kenaikan BI7DRR, tekanan terhadap cadangan devisa masih terus berlanjut kala itu sampai posisinya merosot ke level terendah di US$ 130,2 miliar, Oktober 2022.
(rui/aji)