Kabut asap merupakan masalah yang berulang di Asia Tenggara. Hal ini mengganggu pariwisata, menyebabkan penyakit pernapasan akut, dan merugikan ekonomi lokal hingga miliaran dolar. Sebagian besar masalah ini berasal dari kebakaran alami atau buatan manusia di Indonesia dan Malaysia selama musim kemarau.
Banyak kebakaran disebabkan oleh pembakaran ilegal guna membersihkan lahan pertanian untuk tanaman komersial seperti minyak kelapa sawit, sebuah praktik yang tetap berlanjut meskipun pemerintah telah berupaya keras untuk menghentikannya.
Kebakaran seringkali menjadi buruk pada puncak musim kemarau di bulan Agustus dan September. Akan tetapi dalam tahun-tahun El Nino, hujan sering kali terlambat, yang memungkinkan kebakaran hutan meluas hingga Oktober dan seterusnya.
Menurut Badan Penanggulangan Bencana Nasional, hampir 3.000 titik panas terdeteksi di Indonesia pada pertengahan September. Sumatera dan Kalimantan menyumbang lebih dari dua pertiga.
"Pada musim kemarau yang berkepanjangan ini, suhunya di atas normal," kata Jokowi. "Kebakaran lahan dan hutan tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di Amerika Serikat, Kanada. Di sini kita masih bisa mengendalikannya lebih baik."
Dia mengatakan situasinya jauh berbeda dari El Nino yang kuat pada tahun 2015, ketika kabut asep menyelimuti wilayah itu.
Selama musim tersebut, sekitar 2,6 juta hektar terbakar dan kabut asap bertahan selama beberapa minggu. Menurut peneliti dari Universitas Harvard dan Columbia, hal ini menyebabkan lebih dari 100.000 kematian prematur. Pada El Nino tahun 1997, hampir dua kali lipat lahan terbakar.
BMKG telah mengatakan bahwa musim hujan mungkin tertunda tahun ini hingga akhir Oktober atau November di Sumatera dan Kalimantan, dan bahkan bisa sampai Desember di beberapa bagian negara.
(bbn)