Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta – Kalangan ekonom memperingatkan harga minyak dunia yang sempat melandai sepekan terakhir berpotensi kembali terkerek ke rentang US$90—US$92 per barel, sebagai imbas eskalasi konflik antara Israel dan kelompok Hamas.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan saat ini harga minyak dunia di pasar spot sudah turun ke level US$83 per barel, setelah sempat membandel di atas US$90 per barel nyaris sepanjang kuartal III-2023.

“Meski minyak berisiko naik akibat konflik Israel-Hamas, tetap belum mampu menandingi harga saat krisis minyak mentah 1973, yang saat itu menembus rekor kenaikan tertinggi sepanjang sejarah yaitu dari US$2 per barel menjadi US$11 per barel atau naik 450%,” ujarnya saat dihubungi, Minggu (8/10/2023).

Bhima mengelaborasi faktor politik dan keamanan di kawasan Timur Tengah memang punya andil  terhadap fluktuasi harga minyak dunia, tetapi pasar minyak akhir-akhir ini cenderung mengalami anomali akibat faktor pasokan dan permintaan sekaligus.

Mobil rusak akibat serangan roket Hamas di Ashkelon, Israel, Sabtu, (7/10/2023). (Kobi Wolf/Bloomberg)

Beberapa faktor yang membuat harga minyak kali ini tidak akan seliar tragedi Yom Kippur pada 1973 adalah relaksasi pembatasan ekspor minyak dari Rusia yang diperkirakan menambah pasokan minyak global.

“Kemudian, belum jelasnya pemangkasan produksi minyak yang masih dibahas pada pertemuan Saudi Arabia dan Rusia pada Novembe. Berapa banyak produksi yang dipangkas masih teka-teki,” tutur Bhima.

Faktor lain yang akan menahan harga minyak tidak sampai ke zona krisis adalah nilai tukar dolar AS yang menguat dan menjadi kabar buruk bagi pemain komoditas minyak karena kekhawatiran banyak negara importir minyak mengurangi permintaan impor akibat selisih kurs.

“China sebagai negara konsumen energi yang besar sedang alami perlambatan ekonomi hingga 2024, dengan outlook pertumbuhan ekonomi 4,4% atau di bawah proyeksi Indonesia yang sebesar 5%. Industri di China tidak sedang ekspansi sehingga mempengaruhi permintaan minyak global,” ujarnya. 

Sejarah krisis harga minyak./dok. Bloomberg

Penurunan Beruntun

Harga minyak pada pekan ini memperpanjang penurunannya di tengah kekhawatiran perlambatan pertumbuhan global akan mengikis konsumsi.

Setelah reli yang kuat padai kuartal III-2023, harga minyak mentah telah turun tajam sebagai imbas dari kekhawatiran tentang dampak kenaikan suku bunga terhadap ekonomi global, yang juga telah mengguncang pasar saham dan obligasi dalam beberapa pekan terakhir.

Penurunan harga minyak mengikuti penurunan harga futures bensin setelah data menunjukkan stok meningkat di AS dan tanda-tanda permintaan turun.

West Texas Intermediate (WTI) ditutup di dekat US$82 per barel pada Jumat (6/10/2023), menembus di bawah rata-rata pergerakan 50 hari untuk pertama kalinya sejak Juli. Volatilitas juga melonjak selama aksi jual, mengguncang pasar opsi.

“Ketika harga minyak berbalik arah, itu selalu cepat — terutama ke bawah,” kata Rebecca Babin, trader energi senior di CIBC Private Wealth.

“Kecepatan aksi jual juga didorong oleh panjang pasar yang telah terbentuk selama sebulan terakhir.”

Reli minyak baru-baru ini — yang telah membawa WTI di atas US$95 per barel menjelang akhir September — telah memicu spekulasi bahwa harga minyak bisa mencapai US$100.

Di sisi lain ada yang tetap skeptis. Citigroup Inc. berpendapat bahwa harga akan berbalik arah karena pasar kembali surplus.

Harga minyak per Jumat (6/10/2023):

  • WTI untuk pengiriman November turun US$1,91 menjadi menetap di US$82,31 per barel di New York.
  • Brent untuk penyelesaian Desember turun US$1,74 menjadi menetap di US$84,07 per barel.

(wdh)

No more pages