Meski demikian, kata Yudo, tarif tersebut kini masih tetap mengacu pada Peraturan Presiden (Perpres) No. 112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.
"Itu sudah kita kaji. Barangkali apakah nanti ujungnya kita mau mengeluarkan satu tarif khusus untuk hybrid seperti ini, dengan melihat perkembangannya. Tergantung tipologinya," tuturnya.
Dia pun lantas meminta PT Perusahaan Listrik Negara atau PLN (Persero) untuk betul-betul segera melelang konversi PLTD tersebut sebagai upaya menekan emisi.
"Karena PLTD itu pasti menghasilkan emisi besar itu concern pemerintah."
PLN sendiri sebelumnya tengah melakukan lelang dalam proyek 'dedielisasi' terhadap PLTD berbasis solar. Perusahaan setrum negara itu akan menyasar 94 lokasi yang dibagi dalam dua klaster wilayah; barat dan timur Indonesia.
Secara keseluruhan, setidaknya ada sekitar 5.200 unit PLTD berkapasitas 2,37 gigawatt (GW) di 2.130 lokasi yang akan dialihkan melalui program konversi tersebut.
Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan konversi PLTD menjadi program kunci dalam peta jalan yang telah disusun oleh Kementerian ESDM untuk menekan emisi gas rumah kaca (GRK) untuk mencapai target Net Zero Emission sebelum 2060.
“Program dedieselisasi ini menjadi langkah kecil dari PLN, tetapi akan menjadi lompatan besar bagi pencapaian target pemerintah menuju NZE 2060,” ujar Arifin akhir Maret.
Program konversi PLTD ini akan dilakukan dengan tiga skema. Pertama, konversi PLTD menjadi pembangkit listrik tenaga EBT (PLT EBT) berkapasitas 500 MW.
Kedua, konversi pembangkit listrik tenaga diesel ke gas dengan kapasitas 598 MW. Terakhir, yakni melakukan perluasan jaringan ke sistem terisolasi untuk meniadakan pembangkit listrik tenaga diesel dengan kapasitas 1.070 MW.
(ibn/wdh)