Logo Bloomberg Technoz

Dengan telah diresmikannya Permendag 31 Tahun 2023, sebagai hasil revisi Permendag 50 Tahun 2020 —yang mengatur Perdagangan melalui Sistem Elektronik (PMSE) — maka berlaku pula aturan pemisahan bisnis media sosial dan e-commerce yang sebelumnya dijalankan oleh TikTok Indonesia.

Berbagai reaksi muncul. Pro dan kontra. Dari pedagang, pembeli, atapun kreator “TikTokers” yang terlibat menawarkan barang dagangan dengan skema affiliate marketing.

“Aku agak terkejut dengar berita itu [larangan TikTok Shop beroperasi di Indonesia]. Kita mulai join TikTok itu setahun lalu, Tiktok sudah memberi kesempatan kita lebih inovatif dalam branding dan penjualan,” kata salah satu penjual di TikTok Shop, Diah Kamduk saat dikonfirmasi Bloomberg Technoz.

Peta Kompetisi e-commerce (Bloomberg Intelligence)

Ia mengaku platform TikTok memberi diskon besar namun manfaatnya dirasakan oleh pembeli, harga terjangkau, gratis ongkir, juga kemudahan lain yang diberikan TikTok Shop,” terang dia yang berjualan smartphone di aplikasi milik ByteDance asal China tersebut.

Rivana, salah satu penjual di TikTok Shop, menambahkan, bahwa selama ini ia telah mendapat keuntungan saat berjualan — apalagi saat live sale. Dukungan TikTok Shop dengan memberi subsidi harga juga menguntungkan dia ataupun penjual di TikTok lain.

Proyeksi Pertumbuhan e-commerce (Bloomberg Intelligence)

“TikTok Shop lebih banyak gratis ongkir dan subsidi. Jadi kalau ada diskon dari seller, ditambah diskon dari platform, bakal jadi gede potongannya [harga]. Itu alasan kenapa produk di TikTok harganya lebih murah," ungkap Rivana.

“Yang paling ngaruh itu sistem live di mana orang yang nonton bisa lihat barang, lihat review, lihat keterangan, dan langsung check out dalam satu kali klik saja. Gak perlu scroll-scroll lagi atau klik link lagi.”

Selama berjualan di Tiktok, Rivana menambahkan, menghasilkan Rp200-Rp400 juta pendapatan kotor dalam satu bulan. “Omzet di TikTok lumayan banget,” kata Ana, panggilan akrab Rivana yange mulai aktif di TikTok Shop September 2021.

Dari produk yang dijual, Rivana mematok keuntungan sekitar 30%. “Kita-kira kalau dua tahun [selama aktif berjualan di TikTok Shop] dilihat dari data, total revenue TikTok Shop aku sudah Rp2,4 miliar,” papar Rivana.

Rivana membandingkan saat dirinya berjualan di platform selain TikTok. Tampilan di aplikasi ini juga ia nilai lebih tertata rapi. “Di TikTok Shop jernih banget tampilannya. Sedangkan kalau di Shopee buram, enggak tahu kenapa, tapi memang begitu.” kata dia.

“Shopee pun algoritmanya susah, lebih bakal ramai kalau kita pakai ads [beriklan]. Bisa aja followers jutaan di Shopee, yang nonton cuma 5-6 orang, sedangkan di TikTok penonton organiknya juga udah ramai,” jelas Rivana.

Pemimpin pasar e-commerce di Indonesia. (Dok: Bloomberg)

Berbeda dengan Josh Pratama. Ia mengaku hanya mengejar exporure selama berjualan di TikTok Shop. Menurut Josh, produksi lebih sulit laku.

“Kalau untuk produk, sales sedikit, sudah dibandingkan platform lawannya karena harganya sangat tidak baik untuk seller,” Josh bercerita kepada Bloomberg Tehnoz.

Ia justru lebih mendapatkan manfaat saat menjual secara live di aplikasi selain TikTok Shop, meski diakui bahwa pengunjung toko saat live jauh lebih sedikit.

“Pernah di Shopee, walaupun traffic live-nya sama atau lebih kecil daripada live di TikTok [Shop], tetapi sales convertion-nya lebih baik, walaupun harga produk yang dijual sama,” kata Josh yang  mampu menghasilkan pendapatan kotor Rp1-Rp5 juta per bulan saat berjualan produk fashion perempuan, juga sepatu dan sandal.

Josh pernah memakai skema affiliate saat berjualan, namun hasilnya tidak sesuai harapan. “Tidak ada dampaknya selama ini dengan sistem afiliasi TikTok,” pungkas Josh yang mematok harga atas produknya antara Rp150.000 hingga Rp300.000  — belum menghitung diskon saat acara-acara tertentu.

Dominasi TikTok

Penjual yang dengan tegas menolak aktivitas TikTok Shop juga bersuara. Utamanya mereka yang juga menjajakan produk di pasar Tanah Abang.

Apalagi klaim sebagian seller yang mendapatkan subsidi harga dari TikTok, tidak dialami oleh  Silvia, penjual pakaian muslim gamis di Blok A Tanah Abang.

“Penjualannya terlalu rendah banget. Harganya terlalu murah. Saya jual [gamis] di Tiktok itu saya jual Rp95.000, sedangkan di TikTok banyak jual Rp100.000 dapat dua pieces atau Rp50.000 satu pieces. Sedangkan kualitasnya sama. Bahannya pun sama, cuma beda jahitan saja. Jadi kurang jalan-lah walaupun sudah masukin di TikTok karena banyak orang jualnya murah-murah,” jelas Silvia.

Ia juga mengaku hanya menjual gamis secara online di TikTok, namun tetap membuka kios di Blok A. Menurut dia, pembeli lebih menyukai berbelanja secara langsung dibandingkan lewat platform digital.

Pembawa siaran menawarkan produk melalui layanan live shopping di Social Bread, Tangerang, Kamis (3/8/2023). (Bloomberg Technoz/ Andrean Kristianto)

“Karena pengunjungnya datang, lihat langsung, dari bahannya dan kualitasnya, tuh orang-orang sudah tahu. Ada langganan datang belanja, lebih sering ke offline daripada TikTok,” kata Silvia yang penjualannya kini secara umum mengalami penurunan.

“Jangankah sebulan, seminggu saja kadang enggak laris. Dalam seminggu kadang enggak laris. Kadang tiga hari enggak laris,” cerita dia. “Sekarang jauh banget, drastis. Mendingan [pandemi] Covid 2020 daripada sekarang. Turun banget dari bulan puasa tahun ini. Pasaran sudah sepi banget.”

Penjual lain mengaku terbiasa berdagang di lapak atau kios. Ratna salah satunya, yang merasakan sulit beradaptasi saat berjualan online. Ratna, penjual aksesoris, mengaku sudah mencoba berjualan di berbagai platform, mulai dari TikTok, Shopee, hingga Instagram.

“Karena kita biasa offline, agak sudah juga sih megangnya. Baru nyoba [jualan online], karena kemarin lagi sepi-sepinya karena orang lagi ramai di TikTok, kita baru nyoba dua minggu hingga satu bulanan. Coba live 2 sampai 3 jam, tapi belum ada yang check out [bertransaksi], belum ada yang beli. Namanya rezeki ya,” curahan hati Ratna.

Aksi pedagang di Pasar Tanah Abang menolak TikTok. (Sumber: Bloomberg Technoz/Dovana Hasiana)

Ia mempertanyakan cerita banyak orang yang mampu menjual barang dalam jumlah besar di aplikasi TikTok Shop, sedangkan saat terjun langsung sangat sulit.

“Artis-artis segala macam itu dia terkenal, sedangkan kita akunnya baru masuk. Enggak ngertilah,” jelas Ratna yang sebenarnya bisa menjual harga lebih murah untuk memenangkan persaingan.

Lebih jauh, Ratna memikirkan nasib pelanggannya yang juga pedagang eceran. Mereka biasa membawa produk hasil jualan untuk dipasarkan kembali di berbagai daerah.

“Kalau mau murah, ya bisa murah, cuma kan kasian pelanggan dari daerah, belanja ke sini. Dia sudah beli di sini, kan dia mau di-online-in juga. Kita mau [menjual] online lagi, kan gimana, matiin orang daerah,” papar dia.

Atas keputusan pembatasan aktivitas pada TikTok, yang menjalankan model bisnis social commerce, menurut praktisi Media Sosial, Enda Nasution, tidak masuk akal di tengah dunia terus mengalami evolusi teknologi internet.

Tidak ada alasan kuat memagari aktivitas social commerce, yang menjalankan bisnis hybrid, media sosial dan dagang-el (e-commerce). 

“Selama make sense (masuk akal) dan menguntungkan untuk user harusnya tidak dihalangi. Social media lainnya punya fungsi commerce juga. Facebook ada, IG [Instagram] pernah ada sekarang tidak lagi. WhatsApp sekarang ada directory business,” kata Enda.

“Saya setuju bahwa tugas pemerintah adalah untuk melindungi mereka yang paling lemah dan tidak bisa bersaing. Caranya adalah dengan memperkuat dan mengedukasi pelaku usaha agar bisa bersaing, bukan melakukan proteksi karena yang terjadi adalah persaingan semu.”

Ilustrasi perjualan live di platform TikTok Shop. (dok Bloomberg)

Menurut dia dalam praktik pengembangan teknologi, banyak fungsi yang diintegrasikan dalam satu aplikasi karena pengguna akan terlayani. Aplikasi juga menjadi dipakai.

“Bahkan di China ada beberapa aplikasi [super], Superapp, yang memiliki fungsi banyak, mulai dari chattng, kirim uang, beli tiket sampai delivery makanan,” papar dia.

Pemerintah Indonesia beralasan melindungi pelaku UMKM, yang pangsa pasarnya tergerus oleh keberadaan TikTok Shop. Namun di banyak negara pelarangan TikTok mengacu pada kekhawatiran keamanan data. Hal yang awalnya tidak disampaikan oleh pengambil kebijakan.

“Coba cermati beberapa negara yang katanya 'melarang' TikTok itu sebabnya apa. Coba dicek hampir semua negara yang banned (melarang) TikTok karena konten atau concern (perhatian) soal data, bukan karena mengancam UMKM,” kata Enda.

TikTok. (dok Andrew Harrer/Bloomberg)

Peneliti ekonomi digital dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Nailul Huda menambahkan, keputusan pemerintah terbaru dapat memutus satu langkah pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) bisa go digital.

Menurut Nailul, medsos memegang peran penting dalam proses digitalisasi penjualan UMKM. Pasalnya medsos ada di peringkat kedua sebagai medium UMKM berjualan, di bawah layanan pesan instan.

“Yang harusnya dilakukan adalah mengatur social commerce ini agar bisa setara dengan e-commerce ataupun pedagang offline,” kata Nailul kepada Bloomberg Technoz, September.

“Mengutip data BPS ada empat platform yang sering digunakan untuk UMKM berjualan; satu,  instant messenger, kedua media sosial, ketiga e-commerce atau marketplace, keempat website,” tegas dia. Hal ini memberi gambaran medsos berperan penting dan jika wacana terakhir terjadi merupakan langkah mundur dari pemerintah.

(wep/roy)

No more pages