"Bank sentral di Asia memiliki kekuatan dari cadev mereka seperti tahun lalu untuk intervensi jika mereka memilih melakukannya," kata Alex Loo, strategis Asia FX dan makro berbasis di Singapura di TD.
Sejauh ini, beberapa bank sentral telah menggunakan intervensi secara verbal untuk mempertahankan mata uang mereka, seperti yang dilakukan di Jepang, China, dan Thailand.
Sementara bank sentral India telah melangkah lebih jauh dengan menjual dolar guna menghentikan pelemahan rupee ke level terendah sepanjang masa. Adapun Bank Indonesia juga mengatakan bahwa mereka senantiasa berada di pasar.
Di sisi lain pejabat keuangan teratas Jepang membuat para investor bertanya-tanya pada Rabu (04/10/2023) ini karena menolak mengkonfirmasi apakah Tokyo sudah turun ke pasar untuk menopang yen.
"Asia terus menggunakan pendekatan terbaik dalam mengelola tekanan nilai tukar, termasuk penggunaan cadev sebagai garis pertahanan pertama apabila aliran modal yang terus berlanjut," kata Sonal Varma, ekonom kepala India dan Asia ex-Japan di Nomura Holdings Inc.
India, Thailand, dan Filipina, menurutnya, kemungkinan akan terus menggunakan cadev dalam mengendalikan fluktuasi mata uang yang berlebihan dan membatasi tekanan inflasi yang disebabkan oleh kenaikan harga pangan dan minyak.
Penguatan dolar telah mengejutkan HSBC Holdings Plc dan Morgan Stanley Investment Management yang memulai tahun ini dengan memprediksi bahwa aset pasar negara berkembang akan berkinerja baik. Yen telah turun lebih dari 12% terhadap dolar sejak akhir Desember, sementara Yuan onshore turun ke level terlemah sejak 2007 bulan lalu, adapun ringgit Malaysia mendekati level terendah tahun 1998.
Berita baiknya adalah bahwa sebagian besar bank sentral di Asia memiliki rasio impor jauh di atas aturan tradisional tiga bulan. Mereka juga telah menambah cadec mereka setelah menghabiskan sebagian untuk menjaga mata uang mereka pada tahun 2022.
Posisi cadev di negara berkembang di Asia kecuali China, berdasarkan rasio impor, yang tertinggi adalah di Taiwan, diikuti oleh India, Filipina, dan Thailand, demikian menurut Shreya Sodhani, ekonom berbasis di Singapura di Barclays Plc.
"Kami ragu bank sentral di Asia akan bersedia menaikkan suku bunga sebagai respons terhadap penguatan dolar AS," kata Sodhani. "Intervensi melalui cadev atau secara verbal bisa menjadi pilihan bagi bank sentral yang mulai merasa khawatir."
(bbn)