Tidak hanya di bursa saham, pasar valas Asia pun didominasi warna merah. Dolar Amerika Serikat (AS) terlalu kuat di Asia, sulit tertandingi hari ini.
Yuan China, rupee India, yen Jepang, won Korea Selatan, ringgit Malaysia, peso Filipina, dolar Singapura, dan baht Thailand terdepresiasi masing-masing 0,11%, 0,02%, 0,16%, 0,04%, 0,23%, 0,11%, 0,15%, dan 0,35%. Sementara rupiah melemah 0,37% ke posisi terlemah sejak Januari.
Destry Damayanti, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI), menjelaskan penyebab fenomena ini. Menurutnya, ini semua berpulang ke ekspektasi pasar terhadap arah kebijakan moneter bank sentral AS Federal Reserve.
"Di AS, inflasi memang turun tetapi masih jauh di atas harapan. Ada tekanan lagi kenaikan harga minyak, ada lagi masalah upah di AS. Kemudian dengan adanya pernyataan member bank sentral mereka, itu langsung swing di market besar sekali," kata Destry di Jakarta.
Dua hari lalu, lanjut Destry, salah satu pejabat The Fed mengungkapkan bahwa inflasi masih tinggi sehingga suku bunga acuan bisa naik lagi tahun ini dan bertahan di level tinggi untuk waktu tertentu.
"Kami memperkirakan akan ada kenaikan Fed Funds Rate 25 basis poin pada November. Jadi FFR akan sama dengan suku bunga BI yaitu 5,75%," tambah Destry.
Perkembangan ini, menurut Destry, menimbulkan kehebohan di pasar. Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan 6 mata uang utama dunia) naik hingga ke kisaran 107, tertinggi sejak November tahun lalu.
"Kemudian yield (imbal hasil) obligasi pemerintah AS naik ke highest ever since 2007," ujarnya.
Semua ini, demikian Destry, membuat pasar keuangan Indonesia ikut bereaksi. Yield obligasi pemerintah naik, rupiah pun tertekan.
"Ini kondisi global. Sebenarnya kita everything okay di domestk, relatif aman. Kita masih bisa pertumbuhan ekonomi 5,17% pada kuartal II," tegasnya.
(aji)