Akan tetapi, kuatnya arus jual modal asing, sekitar US$ 1,1 miliar selama September atau setara Rp17 triliun, ditambah kenaikan harga minyak dunia sepanjang bulan lalu diperkirakan turut menggerogoti kekuatan transaksi berjalan yang telah mencatat defisit, akan memberi tekanan besar bagi cadangan devisa.
Upaya BI menarik modal asing segar melalui instrumen baru Sertifikat Rupiah Bank Indonesia (SRBI) sejak pertengahan September lalu, sejauh ini juga belum memperlihatkan greget. Alih-alih menarik modal segar masuk, yang terjadi adalah dana pemodal di pasar SBN tenor panjang dan menengah terlihat migrasi ke SRBI yang tenornya lebih pendek namun memberi yield lebih menarik. Dalam lima kali lelang SRBI tiga pekan terakhir, nilai emisi SRBI sebesar Rp71,5 triliun.
Pada saat yang sama, pasokan valas segar dari penerapan kewajiban penempatan devisa hasil ekspor selama tiga bulan, juga masih belum sebanyak harapan. Sampai 3 Oktober mencatat, nilai repatriasi devisa sejak aturan itu berlaku berhasil ditarik sebesar US$ 1,8 miliar, berdasarkan data BI yang dikompilasi oleh Bloomberg Technoz.
Pada September, nilai yang berhasil ditarik mencapai US$ 992,5 juta, dan pada lelang pertama bulan ini BI menarik sekitar US$ 216,75 juta termasuk nilai rollover deposit. Angka itu masih jauh dari asumsi 30% nilai ekspor bulanan yang bisa mencapai US$ 6 miliar.
Toh, masih ada secercah optimisme dengan masih surplusnya neraca dagang sejauh ini, menurut Ekonom LPEM Universitas Indonesia Teuku Riefky.
"Cadangan devisa kemungkinan masih ada di kisaran US$ 138 miliar hingga US$ 139 miliar karena berlanjutnya surplus neraca dagang," katanya.
Namun, walau neraca dagang masih mencetak surplus tanpa putus dalam 40 bulan terakhir, terjadi penurunan cukup tajam bila menghitung akumulasi sejak awal tahun. Neraca dagang RI selama Januari-Agustus mencatat akumulasi surplus sebesar US$ 24,34 miliar. Angka itu turun US$ 10,5 miliar dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
Penurunan tajam akumulasi surplus itu, menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, penting diwaspadai karena akan memengaruhi ketananan eksternal RI yang menentukan stabilitas perekonomian dalam jangka pendek dan menengah.
Sebagai gambaran, posisi cadangan devisa RI terlemah dalam lebih tiga tahun terakhir terjadi saat pandemi Covid-19 meletus Maret 2020 lalu di mana nilainya tinggal US$ 120,96 miliar. Saat itu nilai tukar rupiah merosot ke level terlemah sepanjang sejarah yaitu di Rp16.575/US$ terseret arus keluar modal asing besar-besarn yang menyusutkan posisi kepemilikan asing di SBN dari kisaran 30%-40% menjadi tinggal belasan persen.
Devisa Asia Memadai
Guncangan pasar yang telah menyeret kejatuhan nilai tukar, harga saham dan obligasi belakangan ini bukan cuma melandai Indonesia. Hampir semua pasar, terutama emerging market, menderita tekanan serupa.
Meski demikian, negara-negara di Asia diperkirakan masih memiliki pertahanan devisa yang memadai semisal reli kenaikan dolar AS kian tak terbendung.
Nilai cadangan devisa di kawasan Asia sejauh ini mencapai US$ 5,5 triliun, yang dinilai masih akan mampu membantu otoritas menahan tekanan pada nilai tukar mereka, menurut perhitungan TD Securities memakai data yang dikompilasi oleh Bloomberg.
Posisi cadangan devisa negara-negara Asia itu masih cukup tinggi setelah mencetak nilai tertinggi pada 2021 lalu di angka US$ 5,9 triliun.
"Bank sentral di kawasan Asia memiliki dukungan dari cadangan devisa [yang besar] seperti tahun lalu untuk mengintervensi pasar sesuai keperluan," komentar Alex Loo, Asia FX and Macro Strategist TD Securities, sepeti dilansir Bloomberg News, Rabu (4/10/2023).
Sejauh ini, bank-bank sentral kawasan Asia menempuh upaya pertahanan nilai tukar melalui intervensi di pasar seperti yang terlihat di Jepang, Tiongkok juga Thailand.
Bank sentral India bahkan telah melangkah lebih jauh dengan menjual dolar AS agar kejatuhan rupee tertahan. "Asia terus menggunakan pendekatan eklektik dalam mengelola tekanan nilai tukar termasuk memakai cadangan devisa sebagai pertahanan pertama jika arus modal keluar terus berlanjut," kata Sonal Varma, Chief Economist untuk India dan Asia di luar Jepang di Nomura Holdings.
(rui/aji)