"Penurunan ini menunjukkan berkurangnya impor barang antara karena Indonesia lebih banyak menggunakan produk antara olahan dalam negeri seiring dengan tumbuhnya industri hulu," kata Hasran dalam diskusi daring bertajuk Perdagangan dan Perannya Terhadap Produktivitas dan Ketenagakerjaan di Industri Makanan dan Minuman, Rabu (15/02/2023).
Dua jenis NTM di Indonesia yang dianggap sebagai penghambat impor adalah proses pengajuan persetujuan impor yang cukup kompleks dan pembatasan kuota impor yang kurang transparan,
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies Hasran
Hasran menyebut menurunnya partisipasi forward maupun backward Indonesia di dalam rantai pasok global terjadi karena beberapa alasan.
Pertama, kebijakan industri dalam negeri cenderung mengorbankan industri hilir demi menyokong pembangunan industri hulu.
"Langkah pemerintah ini ditindaklanjuti dengan persyaratan tingkat komponen dalam negeri [TKDN]," lanjutnya.
TKDN secara tidak langsung membatasi perusahaan menggunakan bahan baku impor yang lebih murah dan berkualitas. Pada akhirnya, hal ini mengurangi daya saing perusahaan Indonesia di pasar global.
Dia berpendapat strategi menyokong industri hulu telah menyita sumber daya pemerintah yang seharusnya difokuskan ke industri hilir yang lebih canggih dan memiliki nilai tambah yang tinggi.
Dalam kata lain, sumber daya yang dimiliki oleh pemerintah terbatas sehingga mustahil untuk membangun industri hulu dan hilir secara bersamaan.
Kedua, partisipasi backward dalam rantai pasok global masih terhambat oleh kebijakan nontarif atau nontariff measures (NTM).
"Dua jenis NTM di Indonesia yang dianggap sebagai penghambat impor adalah proses pengajuan persetujuan impor yang cukup kompleks dan pembatasan kuota impor yang kurang transparan," ungkap Hasran.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan kinerja ekspor Indonesia melanjutkan perlambatan bulanannya pada Januari 2023 dengan hanya capaian senilai US$22,31 miliar atau menurun dari US$23,83 pada Desember 2022.
BPS juga mencatat bahwa ekspor nonmigas mengalami penurunan 6,84% dari US$ 22,36 miliar pada Desember 2022 menjadi US$ 20,83 miliar pada Januari 2023.
Dari kalangan pelaku industri, Ketua Bidang Industri Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Johnny Darmawan menyebut penurunan kinerja ekspor nasional lebih dipengaruhi oleh tren pelembaman harga komoditas ekspor unggulan seperti batu bara dan minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO).
Dia melanjutkan harga komoditas-komoditas akan cenderung kembali ke normal setelah menorehkan reli penguatan, atau membuat Indonesia tidak lagi menerima berkah atau windfall seperti dua tahun belakangan.
"Solusinya adalah pendalaman industri atau penghiliran agar ada nilai tambah dari produk-produk yang kita ekspor. Proses komoditas-komoditas ekspor, khususnya pertambangan, di dalam negeri, nilai [tambah] bisa berlipat-lipat. Nilai keseluruhan naik, tidak lagi bergantung pada pergerakan harga dan nilai tukar," katanya kepada Bloomberg Technoz, Rabu (15/02/2023).
Pemerintah memang sudah menyadari hal tersebut dan mulai mengupayakan adanya penghiliran industri. Namun, menurut Johnny, upaya itu terlambat dilakukan mengingat waktu yang dibutuhkan untuk merealisasikannya tidak bisa dibilang singkat.
"Mulainya itu terlambat, baru belakangan ini. Waktunya itu juga lama, tidak bisa begitu saja jadi. Contoh itu untuk [komoditas] nikel, smelter-nya tak jadi-jadi juga karena itu butuh uang besar, investasinya perlu dicari dahulu," tuturnya.
(rez/wdh)