Lain sisi, per hari ini, West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman November justru turun 2,2% secara harian menjadi US$88,82/barel. Adapun, Brent untuk pengapalan Desember turun 1,6% menjadi US$90,71/barel.
Josua melanjutkan, setelah Pertamina menaikkan harga BBM nonsubsidi termasuk Pertamax awal bulan ini, risiko gelombang migrasi konsumsi ke Pertalite makin menganga. Terlebih, jika harga Pertalite masih berpeluang dinaikkan ke depannya, seiring dengan penguatan minyak dunia dan pelemahan rupiah.
“Jumlah subsidi BBM memang kemungkinan bertambah, mengingat beberapa asumsi yang berpotensi meleset, terutama dari jumlah konsumsi Pertalite dan pelemahan nilai tukar rupiah,” terangnya.
Sebagai informasi, jumlah konsumsi Pertalite pada tahun lalu diperkirakan 29,7 juta kiloliter (kl) dan konsumsi Pertamax 5,8 juta kl. Tahun ini, kuota subsidi BBM Pertalite dinaikkan menjadi 32,6 juta kl, hanya memperhitungkan kenaikan natural konsumsi Pertalite, belum memperhitungkan apabila terjadi peralihan konsumsi dari Pertamax ke Pertalite.
Dari sisi nilai tukar rupiah, rata-rata hingga awal Oktober ini, mata uang Garuda berada di level Rp15.100-an per US$, lebih tinggi dari asumsi APBN 2023 yang sebesar Rp14.800/US$.
“Untuk mengantisipasi hal tersebut, pemerintah harus segera mengimplementasikan pembatasan konsumsi, bisa melalui penerapan digitalisasi pembelian Pertalite, yang sudah direncanakan oleh pemerintah,” kata Josua.
Untuk diketahui, hingga kini revisi aturan distribusi minyak yang diharapkan menjadi katalis ketepatan sasaran subsidi BBM tidak kunjung dirampungkan pemerintah. Regulasi yang dimaksud adalah Peraturan Presiden No. 191/2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak.
Ketahanan Fiskal
Bagaimanapun, Josua menilai ketahanan APBN 2023 masih cukup terjaga untuk mendukung deviasi tambahan subsidi BBM, mengingat proyeksi defisit APBN terhadap PDB Indonesia pada tahun ini hanya sebesar -2.28% dari PDB, jauh di bawah ambang 3%.
Begitu pula dengan ketahanan APBN 2024, yang memperkirakan defisit APBN terhadap PDB hanya -2,29%.
“Meskipun demikian, deviasi pada APBN 2024 bisa cukup besar apabila harga minyak persisten di atas US$90/barel dan nilai tukar persisten di atas level Rp15.500/US$. Mengacu kepada Nota Keuangan RAPBN 2024, setiap kenaikan ICP sebesar US$1/barel akan meningkatkan defisit anggaran pemerintah sebesar Rp6,5 triliun,” kata Josua.
Hal itu disebabkan oleh lebih besarnya kenaikan belanja pemerintah –yakni sebesar Rp10,1 triliun– dibandingkan dengan kenaikan pendapatan pemerintah yang hanya Rp3,6 triliun.
“Apabila harga minyak pada tahun depan secara rata-rata berada di rentang US$90—US$100 per barel, dengan asumsi variabel lain sesuai dengan perkiraan, maka defisit dapat diperkirakan meningkat sebesar Rp52 triliun—Rp 117 triliun. Deviasi yang cukup besar ini akan berpengaruh pada kredibilitas dari APBN,” tegasnya.
Proyeksi Harga
Terkait dengan estimasi harga crude ke depannya, Josua memperkirakan minyak dunia akan cenderung kembali ke rentang US$80—US$90 per barel hingga tahun depan.
“Kebijakan suku bunga tinggi di berbagai negara untuk mengendalikan inflasi —dan pada akhirnya juga akan memengaruhi konsumsi masyarakat— akan menekan kembali harga minyak,” tuturnya.
Peluang minyak dunia untuk turun sangat dalam ke level US$60/barel masih sangat kecil, mengingat anggota OPEC dan Rusia membutuhkan harga minyak yang relatif tinggi untuk mendanai perekonomian mereka.
Dengan demikian, kata Josue, apabila harga minyak jatuh, kemungkinan besar OPEC+ akan mengintervensi dengan melakukan penurunan produksi sehingga harga minyak dunia kembali naik.
(wdh)