Setelah siang ini mendekati level support terkuat di Rp15.620/US$, yang mana bila itu jebol maka rupiah bisa semakin terbenam ke Rp15.664/US$, zona terlemah sepanjang sejarah di Rp16.000/US$ bukan tidak mungkin bakal pecah apabila tekanan terus berlanjut tak terbendung.
Di pasar spot siang ini, rupiah diperdagangkan di Rp15.608/US$, hanya berjarak 4,5% dari titik terlemah rupiah sepanjang sejarah di Rp16.310/US$ saat pandemi Covid-19 pertama meletus Maret 2020 lalu.
Sebagai gambaran, rupiah sempat mencetak kenaikan cemerlang dengan menguat 6,5% dari titik terlemah tahun ini pada awal Januari lalu. Namun, sejak menyentuh level terkuat pada akhir April di Rp14.670/US$, memasuki Mei tren pelemahan rupiah terus tak tertahan.
Dalam rentang Mei-Juli, rupiah kehilangan 3,6% dan hingga terakhir saat ini rupiah kehilangan seluruh capaian penguatan sepanjang 2023.
Bunga Acuan Sama
Sinyal hawkish kian terang dari Federal Reserve, bank sentral AS, yang diprediksi akan mengerek bunga acuan 25 bps pada dua bulan tersisa tahun ini. Probabilitas kenaikan FFR pada Desember nanti mencapai 38,2%, sementara pada November kemungkinannya sebesar 25,7%.
Data PMI manufaktur ISM Amerika pada September mencatat kenaikan lebih tinggi ketimbang perkiraan, meski masih tertahan di zona kontraksi di bawah 50, dibarengi dengan peningkatan aktivitas rekrutmen pekerja di sektor manufaktur dengan indeks PMI manufacturing employment ISM Amerika kini di zona ekspansi.
"Kenaikan itu memicu kekhawatiran investor terhadap kemungkinan kenaikan bunga the Fed 25 bps pada kuartal akhir tahun ini," kata Lionel Prayadi, Macro Strategist Samuel Sekuritas dalam catatan, Selasa (3/10/2023).
Bila the Fed benar-benar akan menaikkan bunga acuan 25 bps di sisa tahun ini maka sejarah baru akan tercipta di mana level bunga acuan Indonesia dan Amerika akan berada di titik yang sama yakni 5,75%, sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya.
Kenaikan bunga acuan Amerika secara alamiah akan mengerek tingkat imbal hasil surat utang Amerika, US Treasury. Dengan kini yield UST 10 tahun sudah di kisaran 4,68%, tertinggi sejak 2007 silam, akan membuat daya tarik surat utang dari pasar negara berkembang seperti Indonesia semakin habis.
Saat ini saja dengan bunga acuan berjarak 25 bps, selisih yield dua negara hanya berjarak hanya sekitar 230 bps, selisih yang dinilai tidak menarik bagi pemodal yang mengincar surat utang berating bagus dengan cuan menarik. Sementara selisih yang dianggap kompetitif bagi pemodal adalah di kisaran 300-350 bps mengingat rating kredit Amerika lebih tinggi dibandingkan Indonesia.
Yield SUN-10 tahun siang ini sudah bertengger di atas 7% dan diperkirakan akan terus meningkat seiring aksi jual pemodal asing yang telah melepas sedikitnya US$ 1,1 miliar SBN selama September lalu. Sebagai catatan, kenaikan imbal hasil SUN acuan berlangsung sangat spartan di mana pada Juli lalu yield masih di 6,1%. Di mata analis, kenaikan cepat yield SUN itu menyiratkan bahwa para manajer aset pengelola dana besar telah memasukkan kemungkinan kenaikan bunga acuan BI7DRR.
"Pasar keuangan Indonesia telah mengalami pengetatan secara ekstensif, dengan imbal hasil SBN 10 tahun yang menjadi acuan telah meningkat dari 6,1% menjadi 6,8% dalam beberapa minggu terakhir, menyiratkan bahwa para manajer aset juga memperkirakan kemungkinan kenaikan suku bunga BI," kata Satria Sambijantoro, Ekonom Bahana Sekuritas pasca pengumuman BI7DRR akhir bulan lalu.
Sejauh ini, rupiah memang terlihat jauh lebih rentan menghadapi pergerakan ekspektasi terhadap bunga acuan the Fed ketimbang menghadapi tekanan kenaikan harga minyak dunia yang belakangan juga membebani fundamental rupiah, menurut analis Barclays.
"Guncangan pasokan yang menaikkan harga minyak dunia memberi dampak lebih kecil pada rupiah. Akan tetapi, penghitungan ulang [repricing] tingkat riil interest rate Amerika terlihat menjadi masalah lebih lebih besar bagi aliran portofolio," kata Audrey Ong, Strategist Barclays, seperti dilansir dari Bloomberg News, Selasa (3/10/2023).
Rupiah memiliki beta yang lebih rendah dibandingkan sebagian besar mata uang Asia lain terhadap guncangan pasokan minyak yang mengerek harga. Dengan kenaikan harga minyak lebih lanjut hingga 10%, menyebabkan pelemahan rupiah sekitar 0,25% dan itu relatif tidak berbahaya.
Analis lebih lanjut menilai, upaya Bank Indonesia memberi sokongan lebih kuat pada rupiah melalui penerbitan instrumen baru Sekuritas Rupiah Bank Indonesia sejak bulan lalu, sejauh ini belum cukup kuat memberi dukungan penguatan. Yang terlihat, SRBI baru sebatas menahan pelemahan lebih jauh alih-alih menambah penguatan nilai tukar.
"Pertahanan Bank Indonesia kemungkinan besar tidak akan memberikan solusi yang tepat dan mungkin hanya sebatas tindakan memperhalus," kata Ong.
Dalam gelar lelang SRBI terakhir pekan lalu, nilai penawaran masuk semakin susut hanya Rp11 triliun. Esok hari, BI akan kembali menggelar lelang rutin SRBI yang diperkirakan akan memantik permintaan imbal hasil di level tinggi sejurus dengan turbulensi pasar yang terjadi sekarang.
(rui/aji)