“Kalau tidak ada risiko perpindahan permintaan, maka kuota [tahun ini] masih aman, bahkan ada spare. Namun, karena ada risiko perpindahan seperti tahun lalu, khususnya di Pertalite, saya rasa kuota akan mepet, tetapi tidak sampai melebihi,” ujarnya saat dihubungi, Selasa (3/10/2023).
Ahmad mengatakan peningkatan kuota BBM bersubsidi tahun ini sudah mempertimbangkan kenaikan 10% permintaan tiap tahun dan didasari oleh kuota tahun lalu yang sudah ditingkatkan pascakenaikan harga bahan bakar minyak pada 2022.
Sekadar catatan, kenaikan harga BBM nonsubsidi dipengaruhi oleh anomali minyak mentah (crude) dunia, yang terus mendekati atau bahkan di atas US$90/barel tahun ini.
Per hari ini, Selasa (3/10/2023), West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman November turun 2,2% secara harian menjadi US$88,82/barel. Adapun, Brent untuk pengiriman Desember turun 1,6% menjadi US$90,71/barel.
Terkait dengan hal itu, Ahmad mengatakan ketahanan ekonomi Indonesia akan sangat terpengaruh jika harga minyak dunia yang betah bertahan di level stabil tinggi terus-menerus ditransmisikan ke harga BBM di dalam negeri.
“Selama pemerintah bisa menahan harga BBM dengan subsidi dan kompensasi, dampaknya tidak akan terlalu besar, saya rasa. Hitungan kami, setiap 10% kenaikan harga bensin Pertamax atau di atasnya berpotensi meningkatkan inflasi sebesar 0,04 poin persentase [ppt]. Sementara itu, kenaikan harga Pertalite 10% berpotensi meningkatkan inflasi sebesar 0,27 ppt,” terangnya.
Mitigasi Risiko
Lebih lanjut, Ahmad menilai tugas utama pemerintah saat ini adalah mencegah perpindahan besar-besaran terhadap konsumsi BBM bersubsidi, khususnya Pertalite. Pemerintah pun disarankan untuk mengatasi isu distribusi bensin bersubsidi.
“Sampai saat ini, belum ada sistem yang firm dari Pertamina [untuk membatasi penyaluran Pertalite], sehingga masyarakat yang tidak layak menerima subsidi masih bisa beli Pertalite walaupun memang jumlahnya dibatasi berdasarkan pelat nomor,” ujarnya.
Dihubungi secara terpisah, Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga Irto Ginting memperingatkan kepada masyarakat yang biasa menggunakan BBM nonsubsidi —seperti Pertamax atau Pertamax Turbo— untuk tidak berbondong-bondong pindah ke Pertalite.
“Harapannya konsumen pengguna BBM nonsubsidi tidak migrasi ke Pertalite, karena segmen ini umumnya memahami perlunya BBM yang sesuai dengan spesifikasi kendaraannya,” ujarnya, Selasa (3/10/2023) pagi.
Di sisi lain, dia pun memastikan kuota Pertalite tersedia dalam jumlah cukup. “Tetapi, sekali lagi, harapannya konsumen tetap menggunakan BBM nonsubsidi,” kata Irto.
Hingga akhir Agustus 2023, lanjut Irto, Pertamina Patra Niaga telah menyalurkan 19,8 juta kiloliter (kl) jenis BBM khusus penugasan (JBKP) Pertalite dari kuota tahun ini sebanyak 32,5 juta kl.
Sementara itu, untuk jenis BBM tertentu (JBT) Solar, perseroan telah menyalurkan sebanyak 11,3 juta kl dari kuota 16,6 juta kl pada periode yang sama.
Sebelumnya, Pertamina menaikkan harga seluruh jenis BBM nonsubsidinya pada 1 Oktober 2023. Bensin standar RON 92 alias Pertamax, misalnya, naik Rp700/liter di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Langkah itu diikuti oleh operator SPBU swasta lainnya, mulai dari Shell, Vivo, hingga BP-AKR.
Di SPBU Pertamina kini, harga bensin Pertamax di Jabodetabek kini menjadi Rp14.000/liter, dari sebelumnya Rp13.300/liter. Kemudian, Pertamax Green 95 menjadi Rp16.000/liter dari posisi bulan September Rp15.000/liter.
Jenis RON 98 atau Pertamax Turbo naik Rp800/liter, dari posisi sebelumnya Rp15.900/liter pada September 2023 menjadi Rp16.600/liter.
(wdh)