Data terakhir itu juga memperlihatkan tekanan perlambatan ekonomi global yang semakin nyata terhadap kinerja ekspor. “Namun, indikator utama terbaru menunjukkan, perekonomian global tahun ini hanya mencatat perlambatan, bukan resesi,” kata Chief Economist PT Bank Mandiri Tbk Faisal Rachman, Rabu (15/2/2023).
Di sisi lain, laju impor sudah mulai beranjak bangkit menyusul pulihnya konsumsi domestik pasca pandemi. Secara bulanan, laju impor memang menurun sebesar 7,15% dibanding Desember 2022. Penurunan impor secara bulanan itu dipicu impor barang modal yang masih lesu pada awal tahun ini dengan catatan penurunan hingga 18,48%. Impor bahan baku juga merosot 3,74%.
“Penurunan impor barang modal dan bahan baku dapat berpengaruh terhadap kinerja ekspor karena sebagian barang modal dan bahan baku yang diimpor tersebut digunakan untuk memproduksi barang yang akan diekspor,” jelas Deputi Bidang Statistik Produksi Badan Pusat Statistik (BPS) M. Habibullah, dalam konferensi pers.
Penurunan impor barang modal dan bahan baku pada awal tahun kemungkinan karena beberapa sebab. Pertama, faktor musiman. Awal tahun biasanya pada pelaku bisnis belum menggeber ekspansi dengan berbelanja barang modal atau bahan baku secara eksesif. Menilik histori, pada Januari 2022, impor bahan baku dan barang modal juga tercatat turun masing-masing sebesar 11,35% dan 13,45% secara bulanan.
Kedua, ketidakpastian global masih cukup tinggi sehingga pelaku bisnis masih ragu untuk berekspansi di kecepatan penuh pada awal tahun. Spekulasi terkait puncak bunga The Federal Reserves yang diperkirakan lebih tinggi di melampaui ekspektasi pasar.
Pengetatan moneter lebih lanjut, menurut Ekonom LPEM UI Teuku Riefky, membuat pelaku bisnis menahan diri. “Setidaknya masih menunggu dulu sampai arah kebijakan bank sentral lebih jelas,” katanya.
Ketiga, faktor pemilu. Kurang dari setahun, Indonesia akan menggelar hajatan pemilihan umum untuk memilih anggota legislatif maupun pemilihan presiden.
“Tahun ini adalah tahun kampanye politik, biasanya pengusaha akan menahan investasi untuk mengantisipasi ketidakpastian politik maupun kebijakan,” kata Lionel Priyadi, Macro Strategis Samuel Sekuritas.
Permintaan Domestik Kuat
Meski secara bulanan turun, sejatinya laju impor pada Januari lalu masih tumbuh 1,27% bila dibandingkan Januari 2022. Ini adalah pertumbuhan positif pertama dalam tiga bulan, bandingkan dengan penurunan 6,61% pada Desember lalu. Bila melihat tren tahunan, semua kelompok impor mulai dari barang konsumsi, bahan baku dan barang modal mencatat pertumbuhan positif pada Januari lalu. Ini bisa dibaca sebagai indikasi tangguhnya permintaan domestik di tengah tren perlambatan permintaan global.
Meski begitu, karena tekanan pada ekspor selama tahun ini diperkirakan cukup besar, laju impor diperkirakan akan melemah selama 2023. Penurunan aktivitas ekspor akan menekan impor barang modal dan bahan baku mengingat ada banyak produk ekspor yang membutuhkan bahan baku impor. Walau bila dibandingkan sisi ekspor, impor Indonesia tahun ini masih akan lebih tinggi terdorong pemulihan permintaan domestik.
Transaksi berjalan (current account) diprediksi akan berbalik menjadi defisit tahun ini menyusul berakhirnya berkah dari windfall komoditas. Harga komoditas yang semakin melandai ditambah penurunan permintaan terutama dari negara-negara tujuan ekspor utama akan membuat laju ekspor sepanjang 2023 ini lesu.
Di saat yang sama, impor akan tumbuh lebih tinggi menyusul pemulihan konsumsi domestik. Alhasil, dua hal itu akan menekan neraca perdagangan dan melahirkan defisit.
Menurut Faisal, Indonesia bisa menahan pelemahan ekspor melalui strategi hilirisasi yang sudah digadang-gadang pemerintah. Strategi hilirisasi bisa memberikan nilai tambah ekspor dan pada akhirnya akan menyumbang surplus perdagangan di sektor manufaktur.
“Hilirisasi nikel terbukti mampu membuat neraca perdagangan sektor manufaktur mencetak surplus dalam tiga tahun terakhir,” kata Faisal. Ekspor besi dan baja pada 2022 menambah sekitar US$ 4,9 miliar atau 25,7% terhadap peningkatan surplus perdagangan.
Hilirisasi ekonomi, diyakini pemerintah, menjadi kunci utama untuk menyokong pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan supaya tidak terus menerus terjebak middle income trap, jebakan kelas menengah. Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menggarisbawahi, hilirisasi sumber daya alam bisa menciptakan pertumbuhan baru dan akhirnya mendorong pertumbuhan per kapita yang lebih tinggi.
Namun, hilirisasi perlu dibarengi dengan penguatan produksi dalam negeri. "Kalau hilirisasi dilakukan dengan kadar impor yang tinggi, ya sama aja duitnya lari lagi keluar, yang kita inginkan hilirisasi sumber daya alam dengan menggunakan produksi dalam negeri," ujar Suahasil, Senin (13/2/2023).
Selain itu, hilirisasi butuh waktu, tidak bisa terwujud dalam semalam. Jadi selagi hilirisasi belum masif, sepertinya Indonesia akan terkena dampak penurunan harga komoditas dan peningkatan impor yang kemudian menekan current account. Saat current account goyah, maka efeknya akan terasa di nilai tukar rupiah.
(rui/aji)