Pada Oktober 2020, sentimen positif datang secara internal maupun eksternal. Kala itu, IHSG bangkit ke teritori positif berkat kebijakan stimulus fiskal, mencakup pengalokasian dana untuk menghentikan dan mengatasi penyebaran Covid-19, serta pemberian bantuan tunai/non-tunai dan juga subsidi bagi masyarakat rentan untuk menjaga daya beli.
Pasar merespon positif stimulus tersebut, optimisme makin bertumbuh setelah industri manufaktur mulai bangkit pada kuartal III-2020. Tercermin pada data Prompt Manufacturing Index-Bank Indonesia (PMI-BI) yang menunjukkan indeks manufaktur Indonesia di kuartal III-2020 mencapai 44,91% atau naik dibanding kuartal II-2020 yang tercatat di angka 28,55%.
Dari eksternal, sejumlah negara di dunia juga bergerak aktif terkait dengan dana pemulihan ekonomi, termasuk negara Amerika Serikat yang terus mengucurkan stimulus baru untuk membantu perekonomian pada kala itu.
Adapun sentimen selanjutnya datang neraca perdagangan mencatat surplus. Dengan prospek surplus neraca transaksi berjalan dan surplus neraca finansial, diprakirakan mengalami surplus dalam tren ekspansif.
Dengan pencapaian tersebut, posisi cadangan devisa Indonesia September 2020 tetap tinggi, mencapai US$135,2 miliar, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
Menurut catatan, RDG BI pada 12-13 Oktober 2020 memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 4%. Keputusan ini juga mempertimbangkan perlunya menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah di tengah inflasi yang diprakirakan tetap rendah. Guna mendorong pemulihan ekonomi dari dampak pandemi.
Untuk sentimen Oktober 2023, ada beberapa sentimen dan katalis yang dapat mempengaruhi gerak IHSG.
Rilis data inflasi Indonesia periode September 2023 berada pada level inflasi 0,19% secara bulanan (month-to-month/mtm). Lebih tinggi ketimbang Agustus 2023 yang hanya -0,2% mtm. Sesuai ekspektasi, terjadi inflasi. Kenaikan harga beras dan penyesuaian harga BBM non-subsidi menjadi salah satu penyebabnya.
Sedangkan dibandingkan September 2022 (year-on-year/yoy), inflasi tercatat 2,28%. Jauh lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya yang 3,27%.
Tingkat inflasi tersebut tetap dalam target BI 2–4% dan berada di batas bawah target, memberikan riil interest rate Indonesia saat ini hampir 3,5%.
Selain inflasi, hari ini juga terdapat rilis data aktivitas manufaktur yang diukur dengan Purchasing Managers' Index (PMI).
Tercatat, aktivitas manufaktur Indonesia berhasil melanjutkan tren ekspansi pada September, S&P Global melaporkan, PMI Indonesia pada September 2023 berada pada level 52,3. Melambat dibandingkan bulan sebelumnya yang tercatat tertinggi 21 bulan terakhir pada Agustus sebesar 53,9.
Hasil survei PMI manufaktur Indonesia pada September 2023 membawa kabar positif. Pemesanan baru (New Orders) secara umum masih solid, dan pemesanan ekspor pun kembali tumbuh positif. Peningkatan produksi juga berhasil membuat industriawan menambah tenaga kerja.
Manufaktur menjadi penting untuk menjadi perhatian dunia investasi. Sebab, manufaktur adalah kontributor utama pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) dari sisi lapangan usaha. Ketika sektor ini tumbuh dan berekspansi, maka ekonomi secara keseluruhan akan ikut tumbuh.
Ini adalah bulan ke-25 secara berturut-turut pertumbuhan aktivitas manufaktur dalam tren ekspansif.
Selanjutnya pada Oktober ini akan terdapat agenda laporan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada 9 Oktober, angka penjualan eceran atau ritel yang diumumkan pada 11 Oktober, neraca perdagangan termasuk angka ekspor dan impor Indonesia pada 16 Oktober. Termasuk akan ada Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia terkait suku bunga acuan 18-19 Oktober.
Adapun jika dibandingkan dengan indeks regional, atau rekan-rekannya di Asia, IHSG berdiri sendiri dengan rata-rata historis kinerja Oktober yang menghijau, sementara indeks Nikkei 225 Tokyo Stock Exchange minus 0,03%, Straits Times Index Singapura terdepresiasi 0,62%, indeks Korea Stock Exchange atau KOSPI melemah 2,36%. Senada, Hang Seng Index Hong Kong mencatatkan penurunan 3,14% dan pada data rata-rata perdagangan saham dalam 5 tahun terakhirnya.
Jika mencermati lebih lanjut, pelemahan paling dalam dihadapi oleh Hang Seng Index Hong Kong dengan penurunan mencapai 3,14% pada data rata-rata perdagangan saham Oktober dalam 5 tahun terakhirnya.
Adapun sentimen yang mempengaruhi laju indeks utama Hong Kong adalah, aksi jual imbas Kongres Partai ke-20 China dan konfirmasi Presiden Xi Jinping untuk masa jabatan ketiga yang belum pernah terjadi sebelumnya. Oktober 2022 pun juga terjadi net sell pada saham-saham teknologi unggulan indeks, seperti perusahaan Alibaba Group Holding. dan Tencent, serta perusahaan pencarian Baidu dan perusahaan pengiriman makanan Meituan.
Tekanan juga datang dari eksternal, pergerakan imbal hasil (yield) obligasi Pemerintah AS (US Treasury) yang kembali meninggi. Pada kala itu, Bank Sentral Federal Reserve/The Fed diperkirakan akan terus menaikkan suku bunga acuan lagi hingga awal tahun 2023.
(fad/aji)