Nasib rupiah di sisa tahun ini kemungkinan masih akan suram dengan tren kenaikan harga minyak yang belum terjeda di tengah arus keluar modal asing yang masih besar. Neraca Pembayaran Indonesia diperkirakan akan kembali mencatat defisit setelah pada kuartal II lalu mencetak defisit terbesar sejak kuartal I-2020, sebesar US$ 7,4 miliar.
Defisit yang terjadi pada neraca pembayaran kuartal II dipicu oleh defisit dua komponen NPI yaitu transaksi berjalan (current account) dan transaksi modal dan finansial (financial account). Di mana transaksi berjalan pada kuartal II lalu, mencatat defisit US$ 1,9 miliar atau 0,5% dari Produk Domestik Bruto, jauh lebih besar ketimbang perkiraan ekonom yang memprediksi nilai defisit 'cuma' US$200 juta.
Sementara defisit transaksi modal dan finansial lebih besar dengan angka mencapai US$ 5 miliar, setara 1,4% dari PDB setelah kuartal sebelumnya masih surplus US$ 3,7 miliar.
Arus keluar dana asing dari pasar surat utang dan sistem perbankan, menyusul tingginya kebutuhan dolar AS kuartal lalu ditambah pesta harga komoditas yang berakhir dan perlambatan ekonomi global, menggenapi tekanan pada neraca pembayaran RI.
Dengan kini harga minyak enggan turun, beban transaksi berjalan akan semakin besar. Defisit neraca migas bisa kian dalam ditambah arus keluar modal asing yang menyeret defisit transaksi modal dan finansial. Pada kuartal II lalu, lonjakan nilai impor migas telah membuat defisit neraca migas hingga US$ 4,33 miliar.
“Sebagai pengimpor minyak mentah, harga minyak yang lebih tinggi berdampak pada memburuknya neraca transaksi berjalan,” kata Nicholas Chia, ahli strategi makro di Standard Chartered Bank yang berbasis di Singapura, Senin (2/10/2023).
Imbal hasil yang semakin sempit antara RI dan Amerika dapat memicu arus modal keluar lebih besar terutama karena Bank Indonesia berulang menegaskan tingkat bunga acuan BI7DRR akan dipertahankan sampai akhir tahun ini, kendati ada risiko kenaikan bunga the Fed pada November atau Desember nanti.
SRBI dan DHE
Bank Indonesia dalam berbagai pernyataan menegaskan stance kebijakannya yang untuk fokus mempertahankan stabilitas nilai tukar. Bank sentral berulang kali menggarisbawahi, untuk menempuh tugas itu obat patennya bukan cuma dari bunga acuan, dalam hal ini kenaikan bunga.
BI cukup punya kepercayaan diri untuk menempuh kebijakan itu menilik tingkat inflasi Indonesia yang sejauh ini terus melandai. Hari ini Badan Pusat Statistik akan mengumumkan inflasi September di mana konsensus ekonom memperkirakan inflasi kian turun ke 2,23%, dari 3,27% pada Agustus lalu. Sementara secara bulanan, inflasi September diprediksi di kisaran 0,12% setelah mencatat deflasi di bulan sebelumnya.
Inflasi yang rendah dan pertumbuhan ekonomi yang masih bertahan di kisaran 5%, bahkan mencapai 5,17% pada kuartal II-2023, memberi kepercayaan diri pada MH Thamrin bahwa level BI7DRR di 5,75% sudah memadai.
"Jamunya bukan suku bunga, jamunya adalah intervensi di pasar spot maupun Domestic Non-Deliverable Forwards. Itu yang terus kami stabilkan, alhamdulillah pelemahan [rupiah] relatif rendah. Itu cara kita memproteksi ekonomi domestik dari rambatan global," kata Perry Warjiyo, Gubernur BI dalam konferensi pers pengumuman hasil Rapat Dewan Gubernur BI pada 24 Agustus lalu.
Obat lain yang sudah dilansir oleh bank sentral adalah dengan merilis instrumen baru bernama Sertifikat Rupiah Bank Indonesia (SRBI), instrumen jangka pendek berkarakter mirip T-Bills Amerika, sejak 15 September lalu. Akan tetapi, upaya itu sejauh ini belum mampu mendongkrak penguatan rupiah. Baru sebatas menahan kejatuhan rupiah lebih jauh.
Penerbitan SRBI belum merangsang kedatangan modal asing segar. Yang terjadi adalah dana dari SBN terutama tenor panjang, keluar dan bergeser ke SRBI yang memberikan imbal hasil tak kalah 'wangi' kendati tenornya jauh lebih pendek maksimal 12 bulan. Total nilai penerbitan SRBI dalam empat gelar lelang mencapai Rp63,29 triliun. Sementara selama September, nilai kepemilikan asing di SBN tercatat turun Rp16,83 triliun point-to-point.
Pada saat yang sama, upaya memperbanyak pasokan valas di sistem domestik melalui pewajiban penempatan devisa hasil ekspor juga belum bisa berbuat banyak. Walau nilai valas yang ditarik terus naik, akan tetapi nilainya masih relatif kecil. Sebagai gambaran, selama Agustus-September, total valas yang digiring masuk ke sistem domestik mencapai US$ 1,48 miliar, termasuk nilai rollover.
Angka itu masih jauh di bawah harapan dengan nilai ekspor RI rata-rata di atas US$ 20 miliar, seharusnya ada sedikitnya US$ 6 miliar bisa ditarik ke dalam negeri. Sebagai gambaran, pada Agustus lalu nilai ekspor RI mencapai US$ 22 miliar.
Momen kebijakan yang baru diberlakukan pada 1 Agustus juga dianggap telat karena pesta harga komoditas sudah berakhir. Kinerja ekspor RI juga terus melemah beberapa bulan terakhir.
Dengan lanskap yang suram, akan sulit bagi rupiah menciptakan "happy ending" untuk tahun ini.
(rui/aji)