Dalam periode yang sama, ringgit Malaysia menguat 0,61%. Kemudian dolar Singapura terapresiasi 0,69%, baht Thailand menguat 1,7%, dan peso Filipina menguat 1,17%.
Arus modal asing pun mengalir deras ke pasar keuangan Nusantara. Di pasar saham, investor asing membukukan beli bersih (net buy) Rp 1,1 triliun sejak awal tahun.
Di pasar obligasi negara, aliran modal pun begitu deras. Per 13 Februari, nilai kepemilikan investor asing di Surat Berharga Negara (SBN) adalah Rp 809,9 triliun. Naik Rp 46,99 triliun (6,16%) dibandingkan posisi awal tahun.
Oleh karena itu, sepertinya untuk saat ini rupiah belum membutuhkan dukungan dari sisi suku bunga. Tanpa kenaikan dari posisi yang sekarang pun aset-aset di Indonesia masih sangat diminati para pemilik modal.
Dari sisi inflasi, juga ada kabar baik. Pada Januari 2023, laju inflasi umum tercatat 5,28% year-on-year (yoy). Laju paling lemah sejak Agustus tahun lalu.
Sementara laju inflasi inti pada Januari 2023 adalah 3,27%. Terendah sejak September 2023.
“Bank Indonesia meyakini inflasi inti akan berada di kisaran 3% plus minus 1 pada semester I-2023 dan inflasi umum kembali ke sasaran 3% plus minus 1 pada semester II-2023,” sebut Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam jumpa pers usai Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulan lalu. .
Oleh karena itu, mungkin sudah saatnya kenaikan suku bunga dihentikan untuk sesaat. Dengan nilai tukar rupiah dan inflasi yang terkendali, maka BI bisa mengalihkan fokus untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Pada 2022, ekonomi Indonesia tumbuh 5,31%, tertinggi sejak 2014. Namun tahun ini ada risiko perlambatan.
“Pada 2023, pertumbuhan ekonomi diprakirakan berlanjut. Meski sedikit melambat ke titik tengah kisaran 4,5-5,3% sejalan dengan menurunnya prospek pertumbuhan ekonomi global,” kata Perry.
Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia memperkirakan ekonomi Indonesia tahun ini tumbuh 4,8%. Sementara proyeksi Bank Pembangunan Asia (ADB) dan Organisasi utuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) ada di 5%. Masih tumbuh, tetapi melambat dibandingkan 2022.
Namun, jika BI benar-benar menahan suku bunga maka menjadi tidak searah dengan bank sentral lainnya. Seperti diketahui, sejumlah bank sentral masih menaikkan suku bunga acuan.
Bank Sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve/The Fed menaikkan suku bunga acuan 25 bps. Bank Sentral Inggris (BoE) dan Bank Sentral Eropa masing-masing menaikkan 50 bps.
Di Asia, Bank Sentral Korea Selatan (BoK) bulan lalu menaikkan suku bunga acuan 25 bps. Sedangkan Bank Sentral India (RBI) belum lama ini menaikkan suku bunga acuan 25 bps.
Di tengah era suku bunga tinggi, investor tentu berharap imbal hasil dana semaksimal mungkin. Jika ada tempat yang menawarkan imbalan lebih tinggi, maka sangat mungkin arus modal akan mengalir ke sana.
Kalau BI benar-benar menahan suku bunga acuan, maka ada risiko peralihan dana ke negara dengan suku bunga yang lebih tinggi. Andai ini yang terjadi, maka rupiah bisa kembali tertekan dan inflasi akibat kenaikan barang impor (imported inflation) akan meninggi. Ini tentu akan menjadi tantangan yang layak dicermati.
(aji)