"Kalau kita lihat kasus yang terjadi di Cilacap, anak ini sudah berpindah-pindah sekolah. Di sekolah sebelumnya juga sudah terjadi masalah. Tapi karena tidak tuntas, jadi hanya memindahkan masalah ke sekolah berikutnya," ungkap Jasra.
"Selain itu soal kemiskinan, dampak dari kemiskinan ini adalah longgarnya perhatian orang tua dan perhatian masyarakat yang belum terlalu kuat bagaimana melindungi anak tersebut di manapun dia berada. Jadi kita melihat keberagaman pengasuhan ini adalah tantangan yang tidak mudah," lanjutnya.
Senada dengan Jasra, Reza Indra dari Lentera Anak Indonesia juga menggarisbawahi kemiskinan sebagai salah satu faktor yang mendorong perilaku perundungan. Faktor lain juga paparan zat-zat adiktif sejak usia dini.
"Kita perlu hati-hati, jangan sampai muncul labeling atau stigma bahwa ahli neraka diisi oleh kaum miskin atau membuat kita lengah bahwa semakin hartawan seseorang maka hidup anak semakin tenteram. Tetapi ada data korelasi antara tingkat kemiskinan dengan delinquency," jelas Reza.
"Selain itu adalah miras. Saya bentangkan lebih luas. Miras, rokok, dan narkoba. Apa yang kita temukan? Bukankah jumlah perokok belia dari waktu ke waktu meningkat? Bukankah usia jumlah perokok belia mulai menurun misal sekarang 3 tahun sudah merokok? Dua indikator itu menjadi dasar bahwa ke depannya situasi ini akan semakin berat," ujarnya.
Sementara Iqbal, sebagai Psikolog Keluarga, berpendapat pendidikan itu sendiri juga bisa menjadi faktor yang membuat anak-anak menjadi tidak bahagia hingga mencari pelampiasan ke tempat lain. Begitu juga dengan faktor kesehatan mental yang harus lebih diperhatikan.
"Banyak anak-anak yang tidak bahagia menjalani pendidikan. Mereka dipaksa mengikuti kurikulum yang mreka belum minat. Ada IPA, IPS. Seolah-olah anak IPA sukses IPS bodoh. Anak-anak berjiwa seni dan bahasa tidak terakomodir karena sekolah-sekolah fokus pada fisika, kimia, matematika seolah-olah anak-anak tidak bisa mengikuti pelajaran itu bodoh, tidak punya masa depan. Ketika anak-anak tidak bisa matematika dipaksa mendengarkan guru, sehingga muncul kejenuhan dan kemarahan," ujar Iqbal.
Iqbal pun mengungkap cara agar anak terhindar dari perundungan. Yang terpenting adalah kematangan emosi dan fisik.
"Kematangan emosi dan fisik yang terpenting. Terkadang pola asuh orang tua membuat anak-anak menjadi culun atau cupu karena overprotective. Sehingga anak-anak itu menjadi penakut. Terkadang kita tidak bisa mengubah anak orang, tetapi kita bisa memperkuat anak kita dengan fisik yang lebih tangguh dan kuat sehingga tidak menjadi korban," jelas Iqbal.
"Anak-anak yang menjadi korban salah satu faktornya dianggap lemah. Terkadang kita dilema. Beladiri untuk pertahanan diri itu baik, tapi bisa juga digunakan untuk melakukan kekerasan. Silat itu luar biasa. Nilai kebijaksanaannya, muatan lokalnya, itu bagus. Tetapi jika tidak diimbangi dengan peran agama, akhlak, hal ini bisa menjadi bahaya," pungkasnya.
(del/ggq)