Logo Bloomberg Technoz

Merespons rencana tersebut, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Indonesia (APBI) Hendra Sinadia menilai beberapa insentif yang diberikan kepada perusahaan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) sebenarnya sudah cukup menarik dan sesuai dengan UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja. 

Misalnya, kata dia, dalam hal pembebasan iuran produksi atau royalti kepada perusahaan yang sudah menjalankan penghiliran batu bara serta insentif masa berlaku IUP. Walakin, dia tidak mengelak masih banyak isu yang perlu diperhatikan oleh pemerintah.

"[Insentif-insentif] Itu positif jadi ada jaminan ke arah sana. Namun, balik lagi, untuk jadi bisa tangible [konkret manfaatnya], apakah cukup insentif-insentif tadi? Belum tentu," ujar Hendra saat dihubungi, Jumat (29/9/2023).

Salah satu isu dalam penghiliran batu bara adalah kebutuhan biaya yang tidak sedikit untuk memulai proyek gasifikasi komoditas tulang punggung ekspor nonmigas tersebut.

Dalam hal ini, pemerintah mulai mewajibkan korporasi-korporasi batu bara —termasuk Kaltim Prima Coal (KPC), Adaro, Arutmin, Kideco— untuk melakukan penghiliran sebagai syarat memperoleh perpanjangan IUP. Permasalahannya, pengusaha ditantang oleh kesulitan mendapatkan pendanaan dari lembaga keuangan, padahal proyek gasifikasi membutuhkan investasi dalam jumlah besar. 

Aktivitas angkut batu bara. (Dok abm-investama.com)

Untuk itu, dia menilai insentif pembiayaan dinilainya bakal lebih efektif mengatrol investasi proyek gasifikasi batu bara di dalam negeri.

"Ya selayaknya investasi, ya harus ada financing [pendanaannya], gitu. Nah, itu yang jadi masalah karena kan untuk proyek baru, pendanaan kan susah apalagi untukk proyek yang coal-related," terangnya. 

Isu lainnya adalah belum cukupnya sektor industri hilir lain di dalam negeri yang dapat menjamin serapan produk derivatif gasifikasi batu bara, seperti dimethyl ether (DME), metanol, gas sintetik, maupun hidrogen dan amonia.

"Jadi jangan semua dibebankan ke industri pertambangan batu bara kan? Balik lagi ke basic yang saya sebutin tadi, kita kan tambangnya batu bara, kita tahu bara, tetapi kita enggak tahu pasarnya LPG [gas alam cair/liquefied petroleum gas] dan gas sintetik [yang merupakan produk turunan gasifikasi batu bara] ini," jelasnya.

Selain itu, harga jual produk turunan batu bara dinilai belum kompetitif melawan harga gas dan LPG. Dengan demikian, pengusaha juga membutuhkan jaminan aturan harga yang konsisten dari pemerintah, mengingat gasifikasi merupakan proyek jangka panjang yang membutuhkan kepastian serapan pasar. 

Tren harga batu bara./dok. Bloomberg

Belum  Teruji

Di lain sisi, Hendra menjelaskan kesulitan pengembangan proyek hilir batu bara tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi di seluruh negara produsen utama komoditas tersebut. Bahkan, dia menilai hingga saat ini masih sedikit contoh sukses dari industri hilir batu bara yang dijalankan melalui gasifikasi.

"Kalau berbicara gasifikasi, praktis hanya China yang berhasil. Negara produsen lain seperti Australia dan India juga belum melakukan itu [gasifikasi]. Kalau kita mau berinvestasi di situ, kendalanya teknologinya kita enggak punya, berarti harus pakai dari luar. Namun, [kembali lagi], mendapatkan pendanaannya sulit, apalagi ini coal-related. Meski [proyek gasifikasi] diklaim untuk menghasilkan energi bersih,  tetap saja ini proyek batu bara juga. Pasti emisi menjadi pertimbangan [lembaga keuangan],"  jelas Hendra.

Bagaimanapun, Hendra mengapresiasi upaya pemerintah untuk membuat proyek penghiliran batu bara lebih ekonomis dengan memperlonggar ketentuan PKP2B dari maksimal dua kali dalam 10 tahun menjadi lebih dari 20—30 tahun, bahkan lebih, untuk pengusaha yang menggelar proyek gasifikasi.

"Jadi kalau proyeknya jalan, sementara izinnya cuma 20 tahun atau kurang, kan pasti ada lag. Itu kan. Nah, makanya kontrak [IUP]-nya bisa mengikuti proyek, jadi bisa lebih dari 20 tahun. Itu positif, jadi ada jaminan investasi,"  tuturnya.

Sekadar catatan, menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), produksi batu bara Indonesia mencapai 687 juta ton pada 2022, naik 12% dari tahun sebelumnya sebanyak 614 juta ton.

Dari total produksi tahun lalu tersebut, sebanyak 215 juta ton digunakan untuk pasar dalam negeri, khususnya kebutuhan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).

Grafik dominasi batu bara dalam industri di Indonesia. (Sumber: Bloomberg)

Plt. Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM Bambang Suswantono mengatakan, di tengah kenaikan produksi batu bara nasional, pemerintah mengupayakan percepatan penghiliran sektor tersebut sebagai salah satu jalan untuk mencapai misi Indonesia Emas pada 2045.

“Saat ini beberapa industri hilir batu bara telah selesai dibangun, yaitu pembuatan briket, kokas, dan upgrading batu bara,” ujarnya melalui pernyataan resmi kementerian, dikutip Jumat (29/9/2023).

Untuk diketahui, proyek penghiliran batu bara di Indonesia —khususnya untuk diolah menjadi DME  sebagai substitusi LPG— masih terkatung-katung hingga saat ini, setelah ditinggal hengkang oleh investor Amerika Serikat (AS) Products & Chemical Inc (APCI).

APCI awal tahun ini mundur dari  megaproyek gasifikasi batu bara, yang dipenggawai oleh PT Bukit Asam Tbk (PTBA), untuk fokus pada proyek hidrogen biru di negara asalnya dengan janji insentif yang lebih menggiurkan dari pemerintah Negeri Paman Sam.

Menteri ESDM Arifin Tasrif belum lama ini mengatakan pemerintah masih terus berburu calon pengganti APCI untuk disandingkan dengan PTBA dalam menggarap proyek DME itu.

"Dahulu kan investor itu yang punya lisensi, ke depannya memang harus cari juga yang sejenis, yang juga bisa membawa dana untuk investasi," kata Arifin saat ditemui di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (13/9/2023).

Proyek gasifikasi batu bara tersebut, kata Arifin, dinilai bakal tidak memakan anggaran investasi yang terlalu mahal. "Kalau [pakai gasifikasi batu bara], mungkin harga batu baranya memang cukup ekonomis, itu akan bagus."

Presiden Joko Widodo dalam beberapa kesempatan menyinggung bahwa proyek gasifikasi batu bara dapat mengurangi beban subsidi energi untuk LPG senilai Rp7 triliun per tahun.

Proyek mercusuar oleh PTBA dan APCI sejatinya direncanakan selama 20 tahun di wilayah Bukit Asam Coal Based Industrial Estate (BACBIE) yang berada di mulut tambang batu bara Tanjung Enim, Sumatra Selatan. BACBIE akan berada di lokasi yang sama dengan PLTU Mulut Tambang Sumsel 8.

Dengan mendatangkan investasi asing dari APCI senilai US$2,1 miliar atau setara Rp30 triliun, proyek itu awalnya digadang-gadang sanggup memenuhi kebutuhan 500.000 ton urea per tahun, 400.000 ton DME per tahun, dan 450.000 ton polipropilen per tahun. 

Menyitir pernyataan resmi Pertamina, dengan utilisasi 6 juta ton batu bara per tahun, proyek ini diklaim dapat menghasilkan 1,4 juta DME per tahun untuk mengurangi impor LPG 1 juta ton per tahun sehingga dapat memperbaiki neraca perdagangan. 

(wdh)

No more pages