Untuk bongkar muat ekspor impor, biayanya dipatok senilai US$1,22 per ton atau meter kubik untuk bongkar muat dengan crane, dan US$1,97 per ton atau meter kubik untuk bongkar muat dengan FC.
Tarif baru tersebut akan diberlakukan oleh PTB efektif per 1 Oktober 2023. Adapun, PTB mengelola konsesi Pelabuhan Muara Berau yang diberikan oleh pemerintah selama 25 tahun.
Merespons kebijakan tersebut, Pandu —yang juga Wakil Direktur Utama PT TBS Energi Utama Tbk (TOBA)—mengatakan para produsen batu bara (shipper), pemilik FC, dan perusahaan bongkar muat (PBM) anggota APBI yang menggunakan pelabuhan di Muara Berau mengeluhkan adanya gangguan kegiatan usaha yang selama ini berjalan lancar.
“Kami menolak dengan tegas atas penetapan rekomendasi tarif jasa kepelabuhan oleh Kemenhub karena ditetapkan secara sepihak, padahal sebelumnya masih dalam proses pembahasan yang melibatkan Kemenhub, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, PTB dan APBI,” tegasnya melalui pernyataan resmi, dikutip Jumat (29/9/2023).
Risiko Monopoli
Keponakan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan itu juga berpendapat penerapan rekomendasi tarif baru tersebut akan mengakibatkan praktik monopoli PTB terhadap seluruh layanan STS di Pelabuhan Muara Berau.
“APBI sangat keberatan dengan adanya monopoli dalam proses bisnis. Proses yang berjalan saat ini akan berubah, sehingga pihak shipper tidak bisa menunjuk langsung pemilik FC atau PBM, tetapi harus melalui PTB,” jelas Pandu.
Menurut kalkulasi APBI-ICMA, tarif baru tersebut akan menambah beban biaya kepada perusahaan batu bara sekitar US$0,82 per ton untuk kapal gearless dan sekitar US$0,42 per ton untuk kapal geared and grabbed.
Tambahan biaya tersebut, menurut Pandu, akan dikantongi PTB tanpa melakukan layanan jasa. Di sisi lain, anggota APBI keberatan membayar tarif karena berpegang pada prinsip umum dunia usaha yaitu “no service no pay” (tidak ada pembayaran tanpa pelayanan).
Tidak Dilibatkan
Lebih lanjut, Pandu berpendapat APBI-ICMA tidak dilibatkan dalam proses penentuan tarif jasa kepelabuhanan Muara Berau, seperti yang tercantum dalam Peraturan Menteri Perhubungan No. 121/2018 tentang Jenis, Struktur, Golongan Dan Mekanisme Penetapan Tarif Jasa Kepelabuhanan.
“Seharusnya APBI yang beranggotakan lebih dari 90 perusahaan pertambangan batu bara sebagai shipper merupakan salah satu pihak yang sangat berkepentingan dan bahkan akan sangat dirugikan jika ada usulan penetapan tarif tanpa persetujuan dari APBI,” tuturnya.
Hambatan pengapalan akibat proses bisnis yang belum disepakati, menurutnya, dapat mengganggu kelancaran logistik di tengah upaya pemerintah mendorong pengembangan tol laut nasional.
Tidak hanya itu, dia menilai kenaikan biaya pelabuhan dapat berkorelasi terhadap penerimaan negara bukan pajak (PNBP) maupun pajak dari sektor pertambangan mineral dan batu bara (minerba).
Terlebih, sebagian besar pemilik FC hingga saat ini belum melakukan registrasi untuk masuk ke dalam sistem ORBIT yang diaplikasikan oleh PTB yang menjadi prasyarat proses bisnis.
Plt. Kepala KSOP Samarinda M. Ridha Rengreng menegaskan kepada pemilik FC bahwa pihaknya tidak akan memberikan pelayanan kepada pemilik FC jika tidak melakukan registrasi ke PTB sesuai suratnya per 26 September 2023.
“Jika kondisi ini berlanjut hingga tarif diberlakukan per 1 Oktober 2023 maka kemungkinan proses alih muat batubara akan terhambat, sehingga ekspor dan maupun pasokan ke PLN dari Pelabuhan Muara Berau akan terganggu,” ujar Pandu.
(wdh)