Menurut Zulhas, pemerintah melarang TikTok untuk berperan sebagai social commerce, atau gabungan antara social media dan e-commerce.
“Ya gak boleh diborong satu usaha semuanya, gak boleh. Social-commerce itu media sosial, dia izinnya media sosial saja. Kalau dia mau e-commerce, dia e-commerce aja. Enggak dia (TikTok) satu memborong semuanya,” ujar Zulhas kepada pedagang tersebut.
Ketika ditanya kerugian usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang berjualan online, Zulhas mengatakan UMKM yang berada di pasar tradisional, seperti Pasar Asemka juga merugi karena barang dagangannya tidak dilirik oleh pembeli.
Zulhas mengatakan, banyak pembeli yang mengeluhkan karena barang-barang yang dijual di platform dagang-el lebih murah dibandingkan di toko offline karena penerapan predatory pricing.
“Jadi kalau tadi 1 set itu dijual langsung Rp120.000, di online itu harganya bisa Rp60.000. Bedak tadi dia jual Rp22.000 tapi di online bisa Rp12.000-Rp15.000. Di sini orang datang, di sana ongkos pun nggak bayar lagi. jadi ini persaingannya kan nggak sehat kalau begitu,” ujarnya.
“Grosir Rp22.000, di online gratis ongkir cuma Rp15.000, itulah yg disebut predatory pricing, itu yang kata orang bakar duit-duit itu ya, nanti kalau pelanggannya sudah pindah semua baru dia naikin (harga),” tutupnya.
(dov/ain)