Akan tetapi, Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati tidak menampik pengerjaan proyek itu memiliki tingkat kesulitan tertinggi lantaran harus digarap tanpa menyetop operasional kilang eksisting.
Sekadar catatan, pengerjaan kilang Balikpapan dibagi menjadi dua. Pertama, peningkatan kapasitas. Kedua, peningkatan kualitas dan volume produksi petrokimia dan gas minyak cair atau liquefied petroleum gas (LPG).
“Untuk tambahan kapasitas ini, tentu otomatis akan langsung menurunkan impor BBM sebanyak 100.000 barel/hari dan ini dampaknya sangat besar terhadap defisit transaksi berjalan Indonesia,” ujarnya medio pekan ini.
Di sisi lain, proyek tersebut memiliki total 5.203 peranti hulu migas dengan berat mencapai 110.000 ton. Peranti terberat adalah Residual Fluid Catalytic Cracking (RFCC) First Regenerator dengan massa 1.099 ton, sedangkan peralatan tertinggi adalah propane/propylene dengan tinggi sekitar 110 meter.
Dalam perkembangannya, bagaimanapun, proyek strategis nasional (PSN) tersebut tidak luput dari sejumlah isu terkait dengan kesulitan pendanaan lembaga asing, akibat dianggap kontroversial oleh sejumlah lembaga pemerhati lingkungan.
Diprotes Aktivis AS
Pada Mei, megaproyek RDMP Balikpapan mendapat sorotan dunia internasional setelah para pemimpin Bank Ekspor-Impor (Eksim) Amerika Serikat (AS) berencana menggelontorkan pendanaan senilai US$99,7 juta atau setara Rp 1,46 triliun (asumsi Rp 14.600/US$ saat itu).
Rencana tersebut nyaris batal setelah sebagian kalangan menilai wacana Bank Eksim berseberangan terhadap janji Presiden Joe Biden dalam menyetop aliran uang publik ke negara lain untuk mendanai proyek-proyek energi fosil.
Pada akhirnya, pembiayaan itu tetap disetujui pada Kamis (11/5/2023) waktu setempat dalam rapat tertutup direksi lembaga kredit independen itu. Adapun, pendanaan itu ditujukan untuk membantu meningkatkan produksi bensin di Indonesia sebanyak 101.000 barel/hari di kilang milik PT Kilang Pertamina Balikpapan.
Persetujuan pinjaman tersebut merupakan keputusan besar pertama dari Bank Eksim AS pada proyek bahan bakar fosil sejak Biden menjadi Presiden dan berjanji untuk meangkhiri dukungan pendanaan publik semacam itu.
Keputusan Bank Eksim tersebut menuai kecaman dan amarah dari para pendukung lingkungan dan penolakan dari Gedung Putih.
"Pemerintah mendukung komitmennya untuk mengakhiri dukungan publik langsung yang baru untuk sektor energi bahan bakar fosil internasional," kata juru bicara Dewan Keamanan Nasional Adam Hodge, dikutip dari Bloomberg News.
Dia menekankan bank tersebut adalah badan independen yang beroperasi berdasarkan piagam undang-undangnya sendiri.
"Bank Eksim membuat keputusan independen untuk menyetujui pinjaman di bawah wewenangnya dan keputusannya tidak mencerminkan kebijakan administrasi."
Pendanaan tersebut – yang tetap dilakukan meski Badan Perlindungan Lingkungan AS berencana untuk memangkas emisi gas rumah kaca – dinilai menambah rekam jejak pemerintahan Biden yang tidak konsisten dalam menghadapi perubahan iklim.
Biden menandatangani rancangan undang-undang perubahan iklim menjadi undang-undang dan telah mengambil langkah bersejarah untuk memelihara energi terbarukan, tetapi pemerintahannya juga telah menyetujui beberapa usaha bahan bakar fosil — termasuk pengembangan minyak Willow milik ConocoPhillips dan ekspor gas alam dari Alaska — yang telah memicu pengawasan terhadap kredensial hijaunya.
AS adalah salah satu dari 34 negara yang berjanji untuk menghentikan dukungan publik langsung untuk proyek bahan bakar fosil internasional yang berkelanjutan pada akhir 2022.
Secara terpisah, Biden berjanji untuk menyetop pendanaan publik untuk proyek bahan bakar fosil asing dengan perintah eksekutif pada minggu pertamanya di Gedung Putih. Pendukung lingkungan pun berpendapat langkah Bank Eksim AS sebagai ‘pengkhianatan’.
“Dukungan Bank Eksim untuk kilang minyak di Indonesia tidak sejalan dengan pernyataan Presiden Biden tentang perlunya mengambil tindakan iklim serta komitmennya di Glasgow untuk mengakhiri pembiayaan bahan bakar fosil di luar negeri,” kata Kate DeAngelis, manajer program keuangan internasional untuk kelompok lingkungan Friends of the Earth.
Sementara itu, pendukung industri minyak berpendapat bahwa dunia akan membutuhkan bahan bakar berbasis minyak bumi untuk tahun-tahun mendatang dan mengatakan Bank Eksim memiliki keleluasaan terbatas untuk menolak proyek bahan bakar fosil di bawah piagamnya, yang mengatakan penolakan pembiayaan tidak dapat “hanya didasarkan pada industri, sektor atau bisnis.”
Bank Eksim sebelumnya menarik proyek RDMP Balikpapan dari agenda pertemuan 27 April setelah protes dari aktivis lingkungan.
Mantan Presiden Bank Eksim Reta Jo Lewis mengatakan dalam rilis bahwa proyek tersebut akan “memungkinkan Indonesia untuk secara substansial mengurangi ketergantungannya pada bahan bakar transportasi yang diimpor sambil meningkatkan ke standar yang lebih bersih, melindungi kesehatan manusia dan lingkungan dalam prosesnya.”
Ekspansi kilang Balikpapan adalah bagian dari rencana Pertamina yang lebih luas untuk memutakhirkan kilang dan meningkatkan kapasitas produksi di seluruh Indonesia – yang menurut perusahaan akan membantu membuat bahan bakar yang “lebih ramah lingkungan” dan lebih bersih.
Menurut pemberitahuan pemerintah, pinjaman yang diusulkan akan mendukung ekspor peralatan dan layanan AS sekitar US$63,9 juta untuk meningkatkan dan memperluas fasilitas. Bank Eksim AS memperkirakan kesepakatan itu akan mendukung lebih dari 200 pekerjaan di 30 pemasok di 13 negara bagian dan Washington, DC.
Agen kredit di Eropa dan Asia telah mengajukan tawaran bersaing untuk membiayai proyek tersebut, kata seorang pejabat Bank Eksim, tanpa potensi keuntungan AS yang sama.
Pendanaan Baru
Pada medio Juni, Pertamina kembali mengumumkan telah berhasil mendapatkan pendanaan senilai US$3,1 miliar atau setara dengan Rp46,18 triliun (asumsi kurs Rp14.898/US$ saat itu) untuk proyek pengembangan RDMP Balikpapan, Kalimantan Timur.
Direktur Keuangan Pertamina Emma Sri Martini mengatakan pendanaan tersebut diperoleh dari sejumlah Badan Kredit Ekspor atau Export Credit Agency (ECA) dan bank komersial. Sayangnya, dia enggan memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai pihak-pihak yang membiayai PSN itu.
“Sudah mau closing [penutupan], fasilitas [pendanaan] yang kami peroleh kurang lebih US$3,1 miliar, saat ini proyek masih on the track, sudah 72% progresnya,” katanya saat ditemui di Kompleks Parlemen.
Selain itu, Emma menyebut Pertamina masih melakukan finalisasi pembiayaan lainnya dari beberapa lembaga keuangan internasional untuk menyelesaikan RDMP Balikpapan. “Untuk PSN Balikpapan sudah disiapkan [proposal]-nya, bulan ini kami closing dengan para lenders [pemberi pinjaman],” ungkapnya.
(wdh)