Bloomberg Technoz, Jakarta – Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani menyebutkan generasi muda Indonesia sangat memerhatikan isu keberlanjutan.
Hal itu, menurutnya, dibuktikan dengan banyaknya perusahaan rintisan (startup) yang sudah mulai berinvestasi pada proyek ramah lingkungan maupun pembangunan berkelanjutan. Namun, dari sisi willingness to pay atau kesediaan untuk membayar masih sangat terbatas.
“Ini yang menarik walaupun survei menunjukkan bahwa generasi muda sangat memerhatikan isu iklim, tetapi sebenarnya dari sisi willingness untuk membayar lebih ini masih sangat terbatas. Oleh karenanya, perlu diintensifkan juga dari segi consumer kita ngomongin green lifestyle harus ada insentif juga,” kata Shinta dalam dalam panel diskusi Bloomberg Technoz Ecofest, Rabu (27/9/2023).
Berdasarkan data yang dia himpun dari survei nasional Celios-Poldev UGM 2023, sebanyak 100% usia 15—34 dan 95% usia 45—54 menganggap krisis iklim adalah hal yang nyata. Namun, masyarakat yang menilai pemerintah belum memiliki kebijakan yang mampu mencegah krisis iklim, mayoritas berasal dari generasi Z sebesar 24% dan generasi milenial 46%.
Shinta menambahkan, bagi startup yang memiliki keterbatasan dari sisi modal, Apindo sebagai pelaku usaha membantu akses permodalan bagi startup ataupun UMKM yang menjalankan bisnis berkelanjutan.
“Kami juga menyiapkan panduan investasi lestari buat UMKM kalau mereka mau masuk ke sini. Dengan kementerian investasi kami buat panduannya tidak hanya untuk perusahaan besar, tetapi untuk UMKM kemudian pada pasar kita selama ini ngomong soal supply dan demand pasarnya. Sebenarnya pasar Indonesia siap tidak sih untuk yang hijau. Itu kembali ke cost kita siap enggak untuk membeli dengan cost yang lebih tinggi,” jelasnya.
Dia pun menekankan startup dan UMKM harus bisa ambil bagian dari perdagangan karbon jangan hanya perusahaan besar saja. Oleh karena itu, ekosistem bagi startup dan UMKM harus disiapkan agar menjadi inklusif.
“Kalau ngomongin penurunan emisi, boro-boro dia akan bicara ekonomi hijau. Bisnis UMKM mikirnya bisa memberikan profit sebesar-besarnya agar survive. Antara survive dan actually do good, itu harus jadi perhatian kita,” ucapnya.
Dalam kesempatan yang sama CEO CarbonEthics Agung Bimo Listyanu mengatakan, awareness atau kesadaran masyarakat Indonesia mengenai ekonomi karbon sudah lebih baik dibandingkan dengan empat tahun lalu saat CarbonEthics terbentuk.
“Dahulu ada beberapa industri sudah jualan di forum besar tapi tidak terbuka di lapisan masyarakat. Jadi karbon barang apa itu tidak tahu dan cara menghitung karbon baik secara individual dan perusahaan. Kalau saat ini jauh sangat berbeda kami sebagai project developer kami banyak ngobrol sama industri dan masyarakat mulai dari G20 banyak komitmen soal net zero,” ucapnya.
Menurut Bimo, hal itu hanya akan dirasakan pada pasar yang sudah berkembang di negara maju seperti Eropa, tetapi nyatanya sejak tahun lalu sudah banyak masyarakat Indonesia dan B2B relation yang sadar akan ekonomi karbon.
“Mereka bikin komitmen net zero plan sebelum melakukan pengurangan emisi seperti karbon kredit dan progresnya masif, tetapi memang harus ada edukasi yang banyak mengenai ini,” ucapnya.
(mfd/wdh)