Dengan perhitungan upaya dari seluruh elemen—termasuk pemerintah, pengusaha, konsumen—berhenti hari ini, maka dapat membatasi pemanasan global hingga 2,4 derajat celcius, menurut catatan IEA.
Angka tersebut jauh berbeda dengan beberapa skenario yang lebih apokaliptik yang pernah disampaikan pada periode sebelum Perjanjian Paris 2015, ketika sebagian besar negara dunia menetapkan 1,5 derajat celcius sebagai target kenaikan suhu.
Namun, bahkan 2,4 derajat celcius juga masih terlalu tinggi. Bayangkan betapa kacaunya iklim yang telah terjadi hanya dengan kenaikan suhu sebesar 1,2 derajat celcius.
Pada periode Juli merupakan bulan terpanas di planet bumi, sekaligus menjadi tahun terpanas sepanjang sejarah. Lautan memecahkan rekor panas. Amerika Serikat (AS) mengalami bencana alam dengan tingkat kerugian miliaran dolar yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam satu tahun kalender. Dan, ini baru bulan September.
Kanada mengalami serangkaian kebakaran hutan terburuk yang pernah ada, hingga sebaran asapnya sampai ke wilayah AS hingga wilayah selatan.
Lapisan es di Antartika mengalami ekspansi terlemah dalam catatan musim dingin terakhir. Hal ini melanjutkan tren yang dapat memicu lebih banyak pemanasan. Semua ini akan menjadi kenangan jika pemanasan global meningkat dua kali lipat.
Namun sayangnya, hasil tersebut masih terasa lebih mungkin terjadi saat ini daripada mencapai target 1,5 derajat celcius, mengingat berita buruk dalam laporan IEA membutuhkan waktu lama dibandingkan dengan berita baiknya.
Diketahui emisi karbon dari sektor energi tercatat 37 miliar ton tahun lalu, mencapai titik tertinggi yang baru. Hal yang disumbang pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19 dan krisis energi pasca serangan Rusia ke Ukraina. Terjadi perebutan untuk memproduksi dan membakar lebih banyak energi fosil, utamanya di China dan negara-negara berkembang.
IEA masih memperkirakan emisi akan segera mencapai puncaknya, seiring dengan permintaan bahan bakar fosil, diikuti dengan jatuhnya kapasitas batu bara, minyak, dan gas alam pada tahun 2040.
Masih banyak yang harus dilakukan untuk mencegah kejatuhan energi terbarukan, dengan IEA melihat potensi atas gas alam yang lebih ramah lingkungan akan memainkan peran besar.
Sementara itu, tenaga dari angin telah mengalami kesulitan akhir-akhir ini hingga rasanya sulit mencapai target tiga kali lipat kapasitas energi terbarukan, yang menurut IEA diperlukan pada tahun 2030 untuk tetap berada di jalur 1,5 derajat celcius.
Melonjaknya biaya dan penolakan politik juga sudah menghambat banyak proyek besar pembangkit tenaga angin, hal yang dibutuhkan mendekarbonisasi energi.
Skenario nol emisi dari IEA akan bergantung pada seberapa efektif penangkapan dan penyimpanan karbon, sebuah teknologi yang masih mahal dan berat hingga untuk mewujudkannya cukup jauh. Tanpa teknologi ini, kita tidak akan mampu menyedot karbon dari emisi utilitas dan pabrik, sehingga membuat investasi energi terbarukan menjadi semakin penting.
(bbn)