Menurutnya berkaca pada posisi hari ini, batu bara masih menjadi penyumbang terbesar ke ekonomi. Dan, dengan hadirnya pasar karbon menjadi jalan menuju keberpihakan kepada transisi energi sekaligus berguna untuk industri batu bara itu sendiri.
Pandangan Pandu sejalan dengan pendapat pemerintah, bahwa diperlukan upaya transisi. Tidak semata-mata menghentikan sumber penghasil karbon yaitu industri batu bara tanpa melihat aspek lain. Aspek yang menjadi titik bidik Indonesia adalah hadirnya pembangkit listrik bertenaga batu bara.
Pada kesempatan yang berbeda, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan minggu lalu mengatakan, “Saya bilang, ekuilibriumnya harus ada. Kalau kamu menghentikan semua batu bara, ya matilah negeri ini.”
“Jadi baseload itu harus tetap ada. Kalau pakai panel surya itu hanya bisa siang hari. Kan belum ada baterai yang bisa menyimpan [listrik tenaga surya dalam waktu panjang]. Nanti kalau ada teknologi itu, baru itu akan bisa,” kata Luhut.
Pemerintah menegaskan Indonesia tidak bisa didikte oleh negara-negara maju dalam strategi transisi menuju ekonomi hijau. “Semua sudah kami hitung dengan cermat. Nah ini kita [emisi karbonnya] baru 2,3 ton per kapita. Ingat, jadi kamu jangan dipengaruhi oleh pikiran-pikiran negara maju itu. Mereka emisinya sudah 15 ton per kapita. Bandingkan 2,3 ton per kapita dengan 15 ton per kapita,” pungkas Luhut.
Pemerintah sebelumnya menjanjikan tidak akan mengizinkan pengembangan PLTU berbasis batu bara baru per 2030, meski menegaskan tidak akan mencabut subsidi energi fosil hanya demi misi transisi energi.
(wep/ggq)