Bagi masyarakat luas, dampak rupiah yang semakin terpuruk dan kehilangan nilai adalah harga barang kebutuhan akan semakin mahal. Tanpa diimbangi dengan kenaikan penghasilan, yang terjadi adalah tergerusnya daya beli.
Badan Pusat Statistik melaporkan, pada Agustus lalu, nilai impor Indonesia mencapai US$ 18,88 miliar. Angka itu turun baik secara bulanan dibanding Juli, juga menurun dibandig Agustus 2022.
Dari angka tersebut, dibedakan antara impor migas dan nonmigas. Impor migas RI bulan lalu mencapai US$ 2,66 miliar, sementara impor nonmigas mencapai US$ 16,22 miliar.
Akan tetapi, walau impor secara umum mencatat penurunan baik secara bulanan maupun tahunan, impor barang konsumsi sejauh ini menjadi satu-satunya yang mencatat kenaikan pada Agustus. Kenaikan impor barang konsumsi berlangsung di tengah mulai bangkitnya belanja masyarakat.
Pada Agustus lalu, impor barang konsumsi tumbuh 15,47% year-on-year dan 2,2% dibanding Juli 2023. Pada saat yang sama, impor barang modal dan bahan baku/penolong tercatat turun.
BBM dan Beras
Indonesia sejauh ini masih menjadi negara pengimpor minyak (net importer) karena lebih banyak membeli ketimbang menjual minyak, gas dan turunannya.
Impor migas oleh PT Pertamina Persero saban bulan, kerapkali menggoyang pasar valas dengan kebutuhan dolar Pertamina yang sangat besar, bisa mencapai lebih dari US$ 2 miliar. Dengan harga dolar yang kian mahal, ada potensi kenaikan harga BBM nonsubsidi lagi setelah naik pada awal bulan ini.
Kenaikan BBM akibat mahalnya valas dan harga minyak mentah dunia yang sempat mencetak reli, juga mengerek harga BBM yang dijual di SPBU Swasta. Kenaikan harga BBM nonsubsidi bisa mendorong masyarakat beralih menyerbu BBM subsidi yakni Pertalite, dan itu dapat memantik lonjakan konsumsi yang ujung-ujungnya membengkakkan nilai subsidi energi negara.
Pada saat yang sama, proyeksi penurunan produksi beras dalam negeri di sisa tahun ini, membuat ketergantungan Indonesia pada beras impor semakin tinggi. Beli beras dari mancanegara tentu memakai valas. Dengan nilai rupiah yang semakin terpukul, harga beras bisa semakin mahal.
Belum lagi risiko inflasi dari impor barang konsumsi lain. Indonesia mencatat nilai impor bahan makanan sebesar US$ 11,15 miliar selama Januari-Juni 2023, setara 10,26% dari total impor periode tersebut. Sementara impor minuman dan tembakau mencapai US$ 437,7 juta, hanya 0,4% dari total nilai impor.
Berkaca pada statistik pada 2022, nilai impor makanan dan minuman untuk rumah tangga yakni kategori utama dan olahan, masing-masing mencapai US$ 2,94 miliar dan US$ 4,93 miliar. Lalu, untuk barang konsumsi tahan lama, setengah tahan lama dan tidak tahan lama, masing-masing mencapai US$ 2,22 miliar, lalu US$ 4,11 miliar dan US$ 3,51 miliar.
Beberapa komoditas konsumsi yang masih banyak diimpor di antaranya adalah daging sapi, gula, sereal, coklat, beras, kain/bahan tekstil dan lain sebagainya.
Impor sereal selama Januari-Juni 2023, misalnya, mencapai US$ 2,58 miliar, dengan nilai US$ 412,43 juta hanya di Juni saja. Contoh lain, untuk kelompok tekstil seperti kain rajut (knitted/croacheted fabrics) nilai impornya pada periode tersebut mencapai US$ 783,02 juta.
Menunggu Taji BI
Tekanan pada nilai tukar rupiah yang tidak surut sejak Mei lalu dan semakin parah belakangan ini, menanti taji dari upaya bank sentral, Bank Indonesia, yang diberi mandat memastikan stabilitas nilai tukar.
Upaya BI melalui gelar lelang instrumen baru bernama Sertifikat Rupiah Bank Indonesia (SRBI) yang baru dimulai 15 September lalu, belum signifikan membantu penguatan rupiah. Yang terlihat, dana asing masih terus mengalir keluar dari pasar.
Posisi kepemilikan SBN, misalnya, tergerus hingga tinggal Rp833,5 triliun per 25 September lalu, berdasar data Kementerian Keuangan. Catatan Bank Indonesia, selama 2023 ini berdasarkan data setelmen hingga 21 September, pemodal asing mencatat posisi beli bersih di pasar surat utang sebesar Rp75,46 triliun. Sementara di pasar saham pada periode yang sama masih mencatat jual neto Rp5,05 triliun dan beli bersih Rp1,14 triliun di SRBI.
Dibandingkan posisi hingga 25 Agustus, terlihat bahwa tidak ada dana segar yang masuk. Duit investor asing hanya berpindah tempat dari SBN ke SRBI. Data BI pada 25 Agustus mencatat, posisi beli bersih nonresiden masih sebesar Rp85,83 triliun, sedangkan posisi jual neto di pasar saham mencapai Rp630 miliar.
Total emisi SRBI dalam tiga kali gelar lelang yaitu 15, 20 dan 22 September mencapai Rp52,7 triliun. Sementara itu, kepemilikan asing di SBN pada 14 Agustus mencapai Rp837,65 triliun, berkurang Rp1,64 triliun esok harinya. Lalu naik menjadi Rp837,65 triliun pada 21 September dan menurun lagi Rp1,4 triliun pada hari ketika lelang SRBI dilangsungkan. Sampai terakhir pada 25 September, posisi SBN asing tinggal Rp833,5 triliun.
Sementara ikhtiar menggaet tambahan pasokan valas baru dari pewajiban penempatan devisa hasil ekspor (DHE) yang dimulai sejak Agustus, masih belum greget walaupun mulai memperlihatkan grafik kenaikan penempatan.
Selama bulan ini hingga 26 September, total nilai devisa hasil ekspor yang berhasil ditarik melalui operasi moneter TD Valas DHE yang digelar oleh Bank Indonesia mencapai US$ 892,75 juta, termasuk nilai rollover deposito. Dengan tren ekspor yang terus menurun, tidak berlebihan bila menyebut kebijakan itu agak terlambat.
(rui/aji)