Fungsi pengawasan koperasi close loop atau berjenis koperasi simpan pinjam dengan ruang lingkup hanya sesama anggota menjadi kewenangan Kementerian Koperasi dan UKM. Sedangkan open loop atau koperasi yang menjalankan bisnis jasa keuangan tidak terbatas hanya pada anggota, dibawah pengawasan OJK.
“Open loop itu masuk semua. Kalau close loop untuk terbatas di anggota, misal ke (sesama) anggota KSP,” terang Teten. Dengan membuat aturan baru diharapkan tidak muncul lagi pengurus koperasi yang menyelewengkan dana anggota atau nasaba, seperti yang terjadi pada KSP Indosurya dan KSP Sejahtera Bersama.
“Pada praktiknya ada yang menjalankan shadow banking, yaitu badan hukumnya Koperasi Simpan Pinjam tapi dia menjalankan itu. Misalnya Indosurya saya katakan, mereka kan investasinya di perusahaan sekuritas milik Indosurya, itu kan grup, lalu dibukukan di Koperasi Simpan Pinjam. Jadi jelas itu shadow banking, itu tindak pidana perbankan,” kata Teten.
Ia juga memaparkan, penyelesaian penggantian uang anggota pada koperasi bermasalah seperti KSP Indosurya dan KSP Sejahtera Bersama masih rendah. Terdapat kendala dalam penerapan putusan perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
"Dalam praktiknya sekarang ini putusan PKPU rendah realisasinya. Misalnya KSP SB yang beranggotakan 185 ribu, baru sekitar 3% realisasi pembayaran homologasinya, meskipun waktu sampai 2025. Indosurya yang kemarin ramai dibebaskan PN Jakarta Barat baru 15,56%," ujar Teten.
Progres yang lambat ini disebabkan oleh aset yang bisa dijadikan biaya ganti rugi ternyata bukan milik koperasi. Kemudian dengan kelanjutan pengusutan pidana atas koperasi bermasalah membuat pihak berwenang melakukan penyitaan dan pembekuan aset.
“Hingga tidak bisa dilakukan penjualan. Lalu proses suap aset dengan simpanan yang dilakukan oleh anggota koperasi. Ini orang per orang dilakukan di luar skema homologasi. Dan pelunasan menggunakan cara-cara lain," Teten menegaskan.
Klasifikasi dua koperasi close loop dan open loop juga sempat dipertanyakan juga oleh Evita. “Membuat definisi definisi baru, yang membuat semakin ribet,” ketus Evita. Meski hal ini langsung disanggah Teten. “Ini bukan pengertian baru atau mengada-ngada,” jelas dia.
Mengakui Punya Keterbatasan SDM Pengawasan
Teten mengakui Kementerian Koperasi dan UKM tidak memiliki kemampuan yang cukup dalam hal pengawasan kegiatan operasional koperasi, khususnya pada sektor keuangan. Untuk itulah pembenahan lewat aturan dan tata kelola koperasi menjadi hal yang mendesak.
“Harus diakui Kementerian Koperasi, lalu dinas-dinas tidak punya kemampuan profesional. Itu perlu (SDM) professional tersendiri. OJK memiliki itu, kami tidak memiliki,” kata Teten.
Selama ini tingkat pengawasan koperasi dari Kementerian tidak memadai. Hal ini disebabkan landasan hukum pengawasan hanya Peraturan Menteri Koperasi (Permenkop), bukan UU. “Seperti kulit, akibatnya apa? Jadi kita hanya membaca neraca dari laporan tahunan anggota koperasi, oh aset dan kewajibannya mencukupi. Kita tidak bisa melihat lebih dalam asetnya,” kata Teten.
Setidaknya ada beberapa poin yang menjadi target penguatan koperasi lewat revisi UU Koperasi, agar filosofi ‘koperasi sebagai soko guru perekonomian’ menjadi relevan. Pertama, penguatan pengawasan di luar yang ada pada OJK. Kedua memiliki ‘LPS’.
“Kami mengusulkan kalau kita mau memperkuat koperasi, yaitu memiliki otoritas pengawasan tersendiri berbeda memang dengan OJK, kita OPK. Amerika sudah melakukan hal ini untuk koperasi simpan pinjam, Jepang juga sudah. Nanti di dalam OPK unsurnya ada tiga, dari gerakan koperasi, dari pemerintah, dari akademisi. Juga perlu LPS untuk menyimpan, ada perlu ada yang membantu kalau ada koperasi yang kesulitan pembayaran, dia bisa pinjam dulu,” tutup Teten.
Bertransformasi Jadi Pekerjaan Rumah Koperasi Selanjutnya
Teten berpandangan, pemerintah lewat Kementerian Koperasi dan UKM tidak ingin mengerdilkan potensi lembaga koperasi dan hanya terjebak dalam filosofi ‘Koperasi adalah Jati Diri Bangsa’. Penguatan koperasi harus dilakukan lewat revisi UU koperasi itu sendiri.
Bagi Teten, koperasi harus berkembang dan jangan membatasi dirinya sendiri pada sektor ekonomi marjinal. Caranya dengan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas lembaga. “Jati diri koperasi itu harus diperkuat, bukan hanya mengatur diri sendiri. Sekarang banyak koperasi yang karena asas kekeluargaan hingga dipimpin oleh keluarga. Ketuanya tidak bisa diganti-ganti,” cerita Teten.
Lembaga koperasi, urai Teten, sangat bisa memiliki rumah sakit, bank, atau lainnya selama punya aturan yang jelas. “Dalam perkembangan dunia, kami ingin koperasi masuk ke semua sektor seperti yang terjadi di Eropa, yang badan hukumnya koperasi tapi memiliki bank,” jelas Teten.
Namun terdapat aturan baru yang mengikat, bahwa saat memiliki bank, koperasi tunduk pada regulasi keuangan. Pun demikian saat memiliki rumah sakit, koperasi tunduk pada regulasi kesehatan.
“Bukan koperasi ingin punya aturannya sendiri-sendiri. Kalau seperti itu maka koperasi mengerdilkan, membatasi dirinya sendiri,” tegas Teten.
Bung Hatta saja, lanjut Teten, membawa konsep koperasi dari Eropa yang kemudian diadopsi dan diakui sebagai jati diri bangsa. Sedangkan yang terjadi hari ini, justru lembaga koperasi yang ada di dunia telah berevolusi.
“Bung Hatta muda belajar (koperasi) dari scandinavia, Koperasi itu bukan ide yang mati, ide yang berkembang. Sebagai jati diri menurut saya itu ngawur,” ucap dia.
(wep/hps)