Logo Bloomberg Technoz

"Dampak negatif dari dinasti politik adalah macetnya sirkulasi elite. Orang-orang yang duduk di kekuasaan ya keluarga itu-itu saja. Regenerasi kepemimpinan yang mestinya milik publik menjadi macet. Orang-orang di luar dinasti tidak bisa memasuki ranah kekuasaan," lanjutnya.

Dihubungi terpisah, pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI) Cecep Hidayat mengatakan, tak bisa dipungkiri bahwa tembusnya anak-anak penguasa ke gelanggang politik bisa karena pengaruh hak-hak istimewa alias privilese. Dengan kekuasaan yang ada, tentu akses akan lebih mudah memasukinya karena mereka sudah memiliki dukungan logistik dan pengaruh figur.

"Ya ini ya bisa (dikatakan dinasti politik) karena dia punya 3 anak kemudian anak pertama sudah bergabung, anak kedua (menantu) sudah masuk politik. Kemudian anak terakhir yang kemudian baru bergabung ke dalam politik. Jadi hampir seluruhnya ya. Ketiganya anak dan nanti sudah bergabung ke dalam politik. Ya memang levelnya beda semua ya, bapaknya Presiden dan kedua anaknya wali kota," kata Cecep lewat sambungan telepon pada Minggu (24/9/2023).

Dia kemudian menjelaskan mengapa kerap terjadi kecenderungan politik dinasti. Pertama, keadaan hukum yang menciptakannya karena untuk bisa digadang harus memiliki dukungan persentase suara. Semakin tinggi ambang batas maka akan semakin sempit kesempatan yang setara. Orang yang punya privilese dan yang punya kaitan dengan penguasa akan dimudahkan.

"Kita bisa komparasi ya. Kalau tidak ada misalnya dari presiden tentu punya hal yang berbeda dibandingkan dengan orang lain gitu, mereka punya privilese juga sebenarnya, punya sumber daya logistik," imbuh dia.

Kedua, perekrutan yang menjadi cenderung elitis dan keputusan hanya di tangan segelintir orang.

"Kita enggak tahu ketika sebelum Gibran dicalonkan sebagai wali kota apakah memang ada kader yang lebih senior di Solo tapi kemudian siapa yang akan maju jadi calon wali kota tapi kemudian tersingkir. Di situ orang-orang yang maju karena dapat tugas dari DPP langsung, dari pusat," kata dia lagi.

Ketiga, ongkos politik yang mahal sehingga untuk mengakses dan memasukinya menjadi kalangan terbatas.

Keempat, rendahnya kesadaran masyarakat untuk mengevaluasi politik dinasti sehingga hal-hal serupa berulang.

"Kita bisa lihat sekarang bagaimana (misalnya) yang lagi booming itu Gibran, itu kan demikian populer di  media sosial. Jadi akhirnya mungkin bahkan pendukungnya banyak dan yang mengkritik mereka (Gibran) justru dirundung balik. Jadi di sini rendahnya kesadaran masyarakat kita untuk evaluasi politik dinasti," ujarnya.

Sementara dalam pidato pertamanya sebagai Ketua Umum PSI, Kaesang sendiri menyebut bahwa Jokowi merupakan inspirasinya dalam berpolitik. Termasuk kata dia, kebijakan sang ayah ketika memerintah juga layak ditiru.

"Beliau ini orang yang sangat saya cintai dan sangat saya hormati, saya ingin mengikuti jejak beliau berpolitik untuk kebaikan. Kepada bapak, saya ingin menyampaikan, izin saya mau menempuh jalan saya, pak. Semoga Gusti Allah memberkahi jalan yang saya pilih ini," kata Kaesang di gedung Djakarta Theatre, Jakarta, Senin malam (25/9/2023).

Edukasi Publik

Sementara Lili Romli juga mengakui masih rendahnya kesadaran publik memahami bahwa politik dinasti bisa menyumbat ruang kesetaraan dalam mengakses kekuasaan. Dia mengatakan, hal ini juga tak lepas dari partai-partai politik yang kompromi dengan hal tersebut. Namun sayangnya tak ada niat dan komitmen politik yang jelas untuk hal ini.

Bagi warga, perlu ada pendidikan untuk melihat plus minus calon yang datang dari trah kekuasaan.

"Publik juga perlu dapat pendidikan politik agar mereka mengetahui dan memahami tentang dampak dinasti politik bagi sirkulasi kekuasaan dan perkembangan demokrasi," tutup Lili Romli.

Laporan: Pramesti Regita Cindy

(ezr)

No more pages