Bloomberg Technoz, Jakarta - Para pakar memperkirakan jumlah kematian akibat COVID-19 yang sebenarnya di China kemungkinan lebih banyak dari hampir 60.000 kasus yang telah dilaporkan oleh negara tersebut baru-baru ini.
“Jumlah kematian akibat Covid-19 yang dilaporkan ini mungkin hanya puncak dari gunung es,” kata Zuo-Feng Zhang, Ketua Departemen Epidemiologi di Fielding School of Public Health, University of California, Los Angeles, Amerika Serikat.
Zhang mengatakan kemungkinan angka tersebut hanya berasal dari data yang didapatkan dari rumah sakit dan totalnya hanya sebagian kecil dari jumlah kematian akibat COVID-19 di negara tersebut secara keseluruhan.

Menggunakan laporan dari National School of Development di Universitas Peking yang menemukan 64% populasi terinfeksi pada pertengahan Januari, Zhang memperkirakan 900.000 orang akan meninggal dalam lima minggu terakhir berdasarkan tingkat kematian kasus konservatif 0,1%. Itu berarti jumlah kematian rumah sakit resmi kurang dari 7% dari total kematian.
Menurut analisis Bloomberg, angka kematian di China yang diterjemahkan menjadi 1,17 kematian setiap hari untuk setiap juta orang di negara itu selama lima minggu itu jauh di bawah rata-rata angka kematian harian yang terlihat di negara lain yang menganut Covid Zero seperti China atau berhasil menahan virus setelah melonggarkan aturan pandemi mereka.
Ketika omicron melanda Korea Selatan, kematian harian dengan cepat naik menjadi hampir 7 untuk setiap 1 juta orang. Australia dan Selandia Baru pun demikian, angka kematian mereka mendekati atau mencapai 4 per juta sehari selama musim dingin pertama mereka dengan omicron.
Bahkan Singapura, yang pendekatan Covid Zero-nya terencana dan bertahap, mencatatkan puncak kematian sekitar 2 per juta orang setiap hari.
"Angka-angka ini menunjukkan bahwa China mengalami gelombang yang sangat ringan, dengan sangat sedikit kematian per kasus," kata Louise Blair, kepala vaksin dan epidemiologi di perusahaan analisis kesehatan prediktif berbasis di London melalui email.
“Itu (angka kematian COVID China) akan menjadi yang terendah dari negara atau wilayah mana pun yang mengabaikan kebijakan nol Covid.”
Dengan demikian, bisa jadi banyak kematian di China terjadi di fasilitas perawatan atau di rumah. Adapun laporan terjadinya kewalahan pada fasilitas krematorium di China menunjukkan bahwa angka kematian di China lebih tinggi.
Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus menyambut baik laporan angka terbaru dari China. Ia mengatakan angka tersebut memungkinkan pemahaman yang lebih baik tentang situasi dan potensi dampak gelombang Covid di China. Dia juga meminta China untuk terus membagikan informasi tersebut dan memberikan perincian data yang lebih rinci berdasarkan provinsi dari waktu ke waktu.
China sendiri telah mempersempit definisi kematian akibat COVID. Otoritas kesehatan meminta rumah sakit untuk membatasi definisi kematian akibat Covid pada mereka yang meninggal karena gagal napas setelah tertular virus.
Itu menyebabkan sedikitnya jumlah kematian yang dilaporkan sepanjang Desember dan awal Januari. Dari 60.000 kematian akibat Covid yang diungkapkan selama akhir pekan, lebih dari 9% meninggal karena gagal napas, menurut Komisi Kesehatan Nasional China (National Health Commission/NHC). Sisanya meninggal karena penyakit setelah infeksi Covid.
Jumlah kematian diperkirakan akan meningkat karena virus yang terus menyebar. Liburan Tahun Baru Imlek, yang dimulai 21 Januari dan melibatkan jutaan orang bepergian ke kampung halaman mereka pun dapat meningkatkan penyebarannya, kata Ali Mokdad, seorang profesor di Institut Metrik dan Evaluasi Kesehatan dan kepala petugas strategi kesehatan populasi di University of Washington.
Mereka pun memperkirakan 1,2 juta hingga 1,6 juta kematian di China pada akhir tahun 2023, tergantung pada langkah mitigasi apa yang dilakukan negara tersebut.
(ggq/hdr)