"Kita memang butuh payung besar regulasi tentang dunia digital," kata Jokowi. "Perkembangan teknologi itu seharusnya menciptakan ekonomi baru, bukan mematikan atau menggerus ekonomi yang sudah ada."
Apa itu Publisher Rights?
Usulan dan kebutuhan tentang adanya aturan tentang hak-hak penerbit muncul usai industri media tergerus dengan kemunculan platform digital. Pengelola mesin pencari seperti Google atau media sosial seperti Facebook kerap menggunakan konten berita yang disodorkan kepada penggunanya.
Perusahaan digital ini kemudian meraup keuntungan karena mendapatkan perhatian dari pengguna internet. Di sisi lain, platform digital dinilai tak memberikan kontribusi yang signifikan kepada perusahaan media.
Menurut Jokowi, hal ini juga nampak dari pergeseran belanja digital perusahaan-perusahaan yang bergeser ke platform digital. Pada saat ini, kata dia, 60% dari belanja digital lari ke perusahaan operator mesin pencari dan media sosial.
Indonesia sendiri bukan negara pertama yang berupaya memberikan keadilan bagi perusahaan medianya. Sebelumnya, Pemerintah Australia telah mengeluarkan aturan yang bernama News Media Bargaining Code, Maret 2021.
Dalam aturan tersebut, Pemerintah Australia meminta Google, Meta, dan perusahaan digital lainnya untuk memberikan kompensasi atas konten berita sebuah perusahaan media yang menghasilkan klik dan iklan di internet.
Pemerintah Kanada juga menyusun aturan bernama Bill C-18 yang isinya nyaris serupa dengan Publisher Rights dan News Media Bargaining Code. Akan tetapi, Kanada lebih lugas dengan mewajibkan perusahaan seperti Google dan Meta membayar setiap tautan konten berita yang tersebar di platform mereka.
Akan tetapi, proses negosiasi beleid tersebut cukup alot karena perusahaan platform digital justru mengancam memblokir semua konten media di wilayah Kanada. Mereka merasa justru telah berjasa bagi perusahaan media Kanada karena membantu memperluas jangkauan, wilayah, dan jumlah pembacanya. Namun, pemerintah Kanada menilai sebaliknya.
(frg)