Animo investor termasuk pemodal asing yang makin aktif berburu SRBI bisa dipahami mengingat tingginya tawaran imbal hasil instrumen baru itu dengan tenor yang pendek. Sebagai gambaran, untuk tenor 12 bulan dalam lelang terakhir pekan lalu, imbal hasil yang dimenangkan berada di kisaran 6,42%, lebih tinggi dibandingkan lelang-lelang sebelumnya.
Bahkan bila dibandingkan SBN dengan tenor 2 tahun saja yang siang ini di kisaran 6,33%, masih lebih tinggi SRBI. Bagi investor tentu saja akan lebih menarik menggenggam instrumen pendapatan tetap bertenor pendek yang memberikan imbal hasil lebih tinggi.
Bank Indonesia dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur pekan lalu menyatakan, animo asing terlihat dominan mencapai 82% dari pasar sekunder.
"Total saat ini sudah ada Rp37 triliun di mana sudah transaksi di pasar sekunder juga sebesar Rp2,31 triliun atau 5% sudah diperdagangkan. Yang menarik, pemodal nonresiden [asing] mencapai 82% dari pasar sekunder, jadi paling tidak langkah awal BI ini [terlihat] appetite pelaku pasar baik asing maupun lokal membaik. Bahkan di secondary market nonbank juga mulai melakukan pembelian," jelas Deputi Gubernur BI Destry Damayanti dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia, Kamis siang (21/9/2023).
Nilai kepemilikan SRBI oleh asing memang masih jauh dibanding SBN oleh nonresiden mengingat itu instrumen yang baru. Kepemilikan SBN oleh asing masih mencapai Rp836 triliun berdasarkan data terakhir yang dirilis oleh Kementerian Keuangan. Namun, bukan tidak mungkin asing terutama traders, akan terus menambah kepemilikan di SRBI ke angka lebih besar.
Sinyal hijau pasar SBN
Bukan hanya memicu pergeseran dana pemodal dari SBN ke SRBI, kemunculan instrumen moneter baru bank sentral itu juga sempat mendorong para investor lebih menyukai SBN tenor pendek ketimbang tenor panjang sebagaimana tren yang terlihat di ujung pekan lalu. Tenor pendek lebih dulu mencatat penurunan yield sementara SBN tenor panjang melanjutkan kenaikan imbal hasil mendekati 6,8% ketika sentimen bunga Amerika mencapai puncak pekan lalu.
Hari ini tren mulai sedikit berubah dengan kembalinya para pemodal masuk lagi menyerbu SBN. Hampir semua surat utang RI mencatat penurunan imbal hasil baik tenor pendek maupun panjang. Penurunan yield SBN tenor panjang yaitu di atas 10 tahun terpantau lebih besar dengan siang ini berada di kisaran 6,73%, setelah pekan lalu melesat kala US Treasury mencetak rekor imbal hasil tertinggi sejak 2007.
Kembali turunnya imbal hasil mayoritas SBN terpicu oleh optimisme yang mulai berkembang di pasar terkait mengecilnya peluang kenaikan bunga the Fed di sisa tahun ini dengan inflasi inti Amerika diprediksi berada di bawah 4%, pertama kalinya dalam dua tahun terakhir.
Selain itu, perlambatan aktivitas ekonomi AS terutama di sektor jasa yang semakin melambat meski masih di zona ekspansi, menguatkan dugaan terjadinya kontraksi perekonomian pada kuartal terakhir tahun ini. Potensi resesi yang kembali besar mengurangi peluang kenaikan bunga the Fed. Hal itu menjadi kabar baik bagi pasar termasuk pasar fixed income domestik.
Dengan potensi kembalinya dana asing ke pasar domestik di tengah semakin banyak pilihan membiakkan duit, bukan hanya SBN tapi juga SRBI, ada peluang rupiah bisa lebih bertahan menghadapi tekanan eksternal di sisa tahun ini. Sampai pukul 11:41 WIB, Senin (25/9/2023), nilai tukar rupiah kehilangan 23 poin dengan merosot ke Rp15.399/US$.
(rui/hps)