Senada, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan harga minyak mentah atau crude oil ke depan memang masih akan cenderung stabil tinggi. Namun, dia memperkirakan harga minyak dunia sampai dengan akhir tahun ini masih belum akan menembus US$100/barel.
"Kami menilai untuk tembus ke atas US$100/barel kemungkinannya masih kecil,” ujarnya belum lama ini.
Dia berperndapat, ada beberapa faktor yang akan menahan laju harga minyak dunia saat ini. Pertama, nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) masih berpotensi menguat, sejalan dengan kebijakan moneter The Federal Reserves (The Fed) yang masih cenderung hawkish.
Kedua, pelemahan ekonomi China yang juga berpotensi menurunkan permintaan minyak mentah dunia. Terlebih, Negeri Panda merupakan konsumen terbesar minyak mentah global.
Ketiga, ekspektasi pertumbuhan ekonomi global 2024 yang secara keseluruhan diproyeksikan tidak akan sebaik tahun ini. “Dengan demikian, ini juga akan menjadi sentimen penekan harga minyak mentah ke depan,” kata Josua.
Sekadar informasi, Goldman Sachs Group Inc. belum lama ini telah meningkatkan proyeksi untuk harga minyak kembali ke angka US$100/barel. Hal ini dipengaruhi permintaan di seluruh dunia mencapai tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya, ditambah dengan pembatasan pasokan OPEC+ yang terus memperketat pasar.
Dengan harga yang naik lebih dari 30% sejak pertengahan Juni hingga melampaui US$95/barel pada Selasa (19/9/2023), bank Wall Street ini sedikit meningkatkan perkiraan 12 bulannya untuk harga acuan global Brent menjadi US$100/barel dari sebelumnya US$93/barel.
Adapun per hari ini, Senin (25/9/2023), harga minya West Texas Indtermediate (WTI) berada di angka US$90/barel atau naik 0,18% dari akhir pekan lalu. Sementara, harga minyak Brent berada di US$92,18 atau naik 0,24%.
Harga minyak sendiri belakangan telah menguat secara signifikan dalam beberapa bulan terakhir, mencapai level tertinggi dalam 10 bulan terakhir. Hal itu dipicu pemangkasan pasokan yang signifikan dari Arab Saudi dan Rusia.
(ibn/roy)