“Mengutip data BPS ada empat platform yang sering digunakan untuk UMKM berjualan; satu, instant messenger, kedua media sosial, ketiga e-commerce atau marketplace, keempat website,” tegas dia.
Hal ini memberi gambaran medsos berperan penting dan jika wacana terakhir terjadi merupakan langkah mundur dari pemerintah.
“Media sosial memegang peran penting dalam proses digitalisasi penjualan UMKM, dengan urutan nomor dua terbanyak,” jelas dia.
Membiasakan diri pelaku UMKM akan layanan digital, lanjut Nailul, bersifat step by step. “Dimulai dengan penggunaan instant messenger, seperti WA [WhatsApp] ]dengan jangkauan terbatas, kemudian pindah ke media sosial, seperti IG [Instagram], FB [Facebook], TikTok, dan sebagainya,” tegas dia.
Pada level advance, UMKM telah bisa mengelola bisnis via marketplace ataupun membangun website sendiri. Serangkaian proses ini pada akhirnya bisa UMKM bertumbuh secara merata.
Lebih jauh, Nailul menyatakan bahwa interaksi pada sosial media tidak dapat dibatasi, berlaku pula untuk layanan soscial commerce. “Tidak dapat diatur apakah mau jual beli atau interaksi lainnya,” jelas dia.
Atas dasar inilah perlu ada pengaturan yang sama, kata Nailul, antara social commerce dengan e-commerce. Keduanya punya prinsip yang sama-sama berjualan melalui kanal internet. Termasuk soal pengenaan pajak ataupun unsur lain pada social commerce.
“Tahun 2019 saya sudah sampaikan bahwa social commerce ini akan lebih sulit diatur karena sifatnya yang tidak mengikat ke perusahaan aplikasi. Akan banyak loophole di situ,” ucap dia.
Klaim TikTok Punya Izin Ternyata Beda Paham
Usai rencana pemerintah Indonesia menata ulang bisnis social commerce, TikTok Indonesia menyatakan bahwa jika aturan pemisahan antara medsos dan perdagangan online (e-commerce) berlaku, sama dengan bentuk hambatan inovasi.
“Hampir dua juta bisnis lokal di Indonesia menggunakan TikTok untuk tumbuh dan berkembang dengan social commerce. Memisahkan media sosial dan e-commerce ke dalam platform yang berbeda bukan hanya akan menghambat inovasi, namun juga akan merugikan pedagang dan konsumen di Indonesia,” kata Anggini Setiawan, Head of Communications, TikTok Indonesia 12 September.
TikTok Indonesia masih mengharapkan pemerintah Indonesia memberi kesempatan bagi perusahaan, meski belum diketahui secara spesifik permintaan terbaru anak usaha ByteDance asal China tersebut. Pada perkembangannya TikTok Indonesia menyatakan telah mengantongi izin E-commerce, seperti disampaikan Menteri Kominfo dan Informatika Budi Arie Setiaji, Kamis.
“Mereka bilang per Juli mereka sudah punya izin e-commerce, jadi kalau seperti itu tidak ada undang-undang yang dilanggar,” jelas Budi.
Lantas diketahui izin e-commerce yang dimaksud adalah persetujuan kantor Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing (P3A), disampaikan oleh Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, Isy Karim.
Isy menyampaikan TikTok belum memiliki izin Perdagangan Melalui Sistem Elektronik [PMSE]. Sedangkan untuk izin Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) dari Kemkominfo memang telah dimiliki TikTok.
“Sekarang TikTok Shop sebenarnya belum dapat izin PMSE dari Kemendag, TikTok itu izinnya hanya PSE dari Kominfo. Kalau TikTok Shop izin dari Kemendag adalah sebagai kantor P3A, itu sebenarnya yang mengeluarkan adalah Kementerian Investasi atas nama Menteri Perdagangan,” ujar Isy di Kantor Kementerian Perdagangan, Jumat.
(yun/wep)