Hal tersebut dinilai Josua akan menekan harga minyak lantaran transaksi komoditas hampir seluruhnya menggunakan mata uang dolar AS, sehingga penguatan greenback akan membuat minyak menjadi relatif lebih mahal bagi konsumen.
Kedua, pelemahan ekonomi China yang juga berpotensi menurunkan permintaan minyak mentah dunia. Terlebih, Negeri Panda merupakan konsumen terbesar minyak mentah global.
Ketiga, ekspektasi pertumbuhan ekonomi global 2024 yang secara keseluruhan diproyeksikan tidak akan sebaik tahun ini. “Dengan demikian, ini juga akan menjadi sentimen penekan harga minyak mentah ke depan,” kata Josua.
Sekadar catatan, harga minyak WTI untuk pengiriman November turun 3 sen menjadi ditutup pada US$89,63 per barel di New York pada Jumat (23/9/2023). Adapun, Brent untuk penyelesaian November turun 23 sen menjadi ditutup pada US$93,30 per barel.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira memperkirakan harga minyak dunia pada akhir tahun ini akan terhenti di level sekitar US$94/barel, akibat pemangkasan produksi OPEC+ yang dibarengi dengan kenaikan proyeksi permintaan minyak dunia.
“Memang, awalnya ada China factor yang membuat proyeksi minyak mentah bergerak lebih moderat di rentang US$80—US$90 per barel. Kondisi ekonomi China yang dilanda pelemahan industri dan sektor properti ternyata belum bisa meredakan harga minyak dunia,” katanya.
Menurut Bhima, kemungkinan besar harga minyak dunia akan bertahan di level stabil tinggi hingga awal 2024. Untuk itu, dia memperingatkan agar upaya pengendalian inflasi dapat makin diseriusi, khususnya terhadap kelompok bahan pangan segar.
“Jelang pemilu, kenaikan harga minyak mentah bisa berisiko ke stabilitas inflasi terutama volatile food.”
Pemerintah Pantau Ketat
Dihubungi secara terpisah, Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana mengatakan pemerintah masih memantau ketat pergerakan harga minyakk sampai dengan akhir tahun ini.
Berbagai risiko kenaikan masih menganga di depan mata, terutama memasuki periode musim dingin di negara-negara empat musim.
“Posisi sekarang memasuki winter, demand naik. Namun, perekonomian global masih sulit yang menyebabkan daya beli terbatas. Sebagian besar negara yang terdampak atas harga tinggi terus berusaha dengan mengeluarkan kebijakan untuk dapat menyeimbangkan harga,” tuturnya.
Goldman Sachs Group Inc. belum lama ini telah meningkatkan proyeksi untuk harga minyak kembali ke angka US$100/barel. Hal ini dipengaruhi permintaan di seluruh dunia mencapai tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya, ditambah dengan pembatasan pasokan OPEC+ yang terus memperketat pasar.
Dengan harga yang naik lebih dari 30% sejak pertengahan Juni hingga melampaui US$95 per barel pada Selasa (19/9/2023), bank Wall Street ini sedikit meningkatkan perkiraan 12 bulannya untuk harga acuan global Brent menjadi US$100/barel dari sebelumnya US$93/barel.
Namun, Goldman mengatakan dalam sebuah catatan bahwa sebagian besar reli dalam komoditas penting ini "sudah berlalu."
Harga minyak telah menguat secara signifikan dalam beberapa bulan terakhir. Harga mencapai level tertinggi dalam 10 bulan dipicu pemangkasan pasokan yang signifikan dari Arab Saudi dan Rusia.
(wdh)