"Kami sangat menentang penggunaan teknologi pembakaran sampah," tegasnya. "Jika RUU EBET ini melegitimasi dan mengakui energi sampah menjadi energi terbarukan, tentu ini menjadi sinyal buruk."
Adapun, RUU EBET tersebut juga bakal mengatur nilai keekonomian terhadap energi baru yang juga mempertimbangkan nilai kesehatan.
Selain itu, draf tersebut juga sebenarnya sudah memasukkan poin-poin pertimbangan yang penting terkait penggunaan sumber energi di antaranya biaya investasi, manfaat lingkungan, sosial, dan manfaat penurunan emisi gas rumah kaca.
Namun, pertimbangan tersebut dinilainya justru bertentangan dengan pilihan sumber energi yang digunakann dengan masih mengandalkan energi fosil berkedok energi baru.
“Pemerintah dan DPR mestinya fokus saja mengatur energi terbarukan, tidak perlu lagi ditambahkan dengan energi baru yang sumbernya kita tahu dari mana,” kata Fajri.
Dalam kesempatan yang sama, Yulinda Adharani, Dosen Hukum Lingkungan Universitas Padjadjaran, menegaskan, RUU EBET yang saat ini sedang dibahas antara DPR dan pemerintah masih jauh yang diharapkan untuk mendukung transisi ke energi terbarukan.
Jika mengingat tujuan awal RUU ini dibuat adalah untuk mendorong transisi ke energi yang lebih ramah lingkungan.
Menurutnya, draf yang ada sekarang memberi ruang yang sama antara energi baru dan energi terbarukan, yang justru sangat kontraproduktif dengan upaya Indonesia keluar dari ketergantungan terhadap energi fosil.
"Ketika Indonesia seharusnya lebih ambisius dalam mencapai target bauran energi terbarukan, rencana regulasi yang sedang disusun malah tidak sejalan dengan ambisi itu,” tutur Yulinda.
Dia lantas meminta pemerintah untuk tegas memberikan payung hukum yang jelas untuk keberlangsungan transisi energi.
(ibn/wdh)