Terkait dengan instrumen tersebut, pemerintah sebelumnya telah menerbitkan Peraturan Presiden No. 98/2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional.
Sebagai tindak lanjut, Kementerian ESDM juga menerbitkan Peraturan Menteri ESDM No. 16/2022 tentang Tata Cara Penyelenggaraan NEK Subsektor Pembangkit Tenaga Listrik. Permen tersebut salah satunya mengatur mengenai perdagangan karbon di subsektor pembangkit dan akan menjadi acuan dalam tata niaga karbon.
Kalah Saing
Menurut Arifin, regulasi teknis perdagangan karbon dibutuhkan Indonesia lantaran Malaysia sudah terlebih dahulu menjalankannya dengan baik. Bahkan, lanjutnya, Singapura yang tidak memiliki paket lengkap kebijakan migas justru sudah menjalankan aturan ideal soal perdagangan karbon.
“Menarik juga Indonesia ini untuk berbisnis karbon. Bayangkan, Malaysia sudah bikin aturan, wajar dong dia [menjadi] pemain karbon karena punya perusahaan migas dan punya reservoir [untuk penyimpanan karbon]. Singapura juga punya aturannya. Indonesia yang punya macam-macam belum siap, jadi kami percepat lah,” ujarnya.
Arifin pun menjelaskan skema perdagangan karbon tahap awal yang diinisiasi Kementerian ESDM pada Februari tahun ini tidak akan berbenturan dengan bursa karbon besutan OJK.
Dalam perdagangan karbon di Indonesia, Kementerian ESDM lebih mengatur soal NEK yang merupakan mekanisme pasar untuk memberikan beban atas emisi yang dihasilkan kepada penghasil emisi, sedangkan OJK lebih kepada soal teknis perdagangan karbon di pasar.
“Biasanya nanti akan ada peraturan trading [dari] OJK. [Soal] standardisasinya memang BSN [Badan Standardisasi Nasional] yang menangani. Dalam aturan nanti ada soal carbon trading, yang ditangani oleh OJK,” jelas Arifin.
Saat peluncuran perdagangan karbon subsektor tenaga listrik awal tahun ini, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Jisman Hutajulu mengatakan, pada 2023 akan dilaksanakan program tersebut bersifat wajib bagi pengusaha sektor pembangkit.
Untuk tahap awal, perdagangan karbon tersebut pertama kali dilaksanakan di Indonesia pada unit pembangkit PLTU batu bara yang terhubung ke jaringan tenaga listrik PT PLN (Persero) dengan kapasitas lebih besar atau sama dengan 100 MW.
"Untuk mendukung pelaksanaan perdagangan karbon tersebut, Kementerian ESDM telah menetapkan Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi [PTBAE]," ujar Jisman.
Lebih lanjut, Jisman menyampaikan pada 2023 Kementerian ESDM telah menetapkan nilai Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi Pelaku Usaha (PTBAE-PU) kepada 99 unit PLTU batu bara (42 perusahaan) yang akan menjadi peserta perdagangan karbon dengan total kapasitas terpasang 33.569 MW.
Ke depannya, secara bertahap perdagangan karbon di subsektor pembangkit tenaga listrik pada fase kedua dan ketiga akan diterapkan pada pembangkit listrik fosil selain PLTU batu bara dan tidak hanya yang terhubung ke jaringan PLN.
(ezr/wdh)