“Saya kira hampir 90% kebutuhan batu bara mereka itu dipenuhi oleh dalam negeri, lalu sisanya impor. [Untuk yang kualitas tinggi] ada yang dari Australia dan Rusia, [kualitas menengah dan rendah] ada yang dari Indonesia,” katanya.
Pembangkit Teknologi Tinggi
Selama ini, batu bara dari Australia memiliki pangsa yang berbeda dengan Indonesia di pasar China. Indonesia tidak memiliki batu bara kualitas I seperti halnya Australia, padahal jenis tersebut sedang sangat dicari China untuk pembangkitnya yang kini banyak menggunakan teknologi ultra supercritical.
Sekadar catatan, menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) batu bara kualitas I memiliki kadar kalori 6.000 kkal/kg GAR atau lebih. Kualitas II antara 5.600—5.999 kkal/kg GAR, sedangkan kualitas III 4.700—5.599 kkal/kg GAR.
“Pembangkit China yang menggunakan teknologi ultra supercritical memang butuh membakar batu bara dengan hydrate calorie value yang lebih tinggi. Itu memang adanya dari Australia, tidak ada di Indonesia. Kita yang diekspor ke China itu batu bara dengan value menengah antara 5.200—5.700 kkal/kg GAR,” jelas Fabby.
Lebih lanjut, Fabby mengatakan pada dasarnya pertumbuhan volume batu bara yang dibakar oleh pembangkit listrik di China masih relatif tinggi, terutama setelah berakhirnya masa pandemi Covid-19.
Hanya saja, China lebih memprioritaskan penggunaan batu bara produksi domestik. Permasalahannya, produksi batu bara lokal pun tidak mudah, lantaran Beijing sempat menutup tambangnya di Mongolia tahun lalu akibat kecelakaan kerja.
“Di sana kan penerapan safety mining cukup tinggi ya, jadi langsung ditutup. Itu kemudian memengaruhi produksi. Lalu, juga ada daerah produksi batu bara mereka yang mengalami kebanjiran. Jadi ketika ada kendala produksi di dalam negeri, itu wajar jika volume impor dari Indonesia maupun Australia naik,” tuturnya.
Keunggulan batu bara Indonesia, selain harganya murah, kata Fabby, adalah volume produksinya yang bisa lebih cepat dinaikkan dibandingkan dengan batu bara Australia.
Walakin, dia tetap memperingatkan pangsa pasar batu bara Indonesia di China bakal mencapai puncaknya pada 2025, dengan kecenderungan penurunan permintaan yang akan dimulai pada tahun depan.
“Saya mengatakan, kita harus mengantisipasi bahwa ekspor batu bara Indonesia ke China itu akan mengalami penurunan. Bahkan, kami memperkirakan –berdasarkan kajian para analis– puncak permintaan batu bara China itu akan terjadi pada 2025. Setelah itu akan flat, kemudian turun sampai 2030, dan akan terus melandai,” ujarnya.
Untuk itu, dia pun menyarankan agar pemerintah mengantisipasinya dengan membuat pemetaan proyeksi atau outlook jangka panjang yang lebih realistis untuk industri batu bara nasional.
Outlook batu bara nasional ke depan, sambungnya, sebaiknya tidak ditetapkan dengan target-target yang terlalu agresif, khususnya dalam hal produksi.
Untuk diketahui, pada Agustus 2023, impor batu bara China memecahkan rekor bulanan tertinggi sepanjang masa dengan capaian 44 juta ton. Akan tetapi, pemesanan batu bara dari Indonesia justru anjlok.
Data terbaru Bea Cukai China menunjukkan pengapalan batu bara RI ke China pada bulan lalu hanya 5,89 juta ton, melorot ke peringkat keempat sebagai negara pemasok energi fosil terbesar ke Negeri Panda.
Biasanya, Indonesia merupakan penyuplai batu bara terbesar China. Namun, bulan lalu impor emas hitam Beijing rupanya lebih didominasi oleh Rusia dengan 9,96 juta ton, Mongolia 6,84 juta ton, dan Australia 6,69 juta ton.
“Pengiriman batu bara Rusia dan Australia mengambil alih pangsa pasar dari eksportir terbesar China, yaitu Indonesia, pada tahun ini,” kata Amy Xu, seorang analis di Fenwei Energy Information Service Co., dilansir Bloomberg News, Kamis (21/9/2023).
Ekspor batu bara Rusia ke China juga meningkat setelah invasi ke Ukraina. Moskwa beralih ke sekutu strategisnya untuk menjual komoditas yang dijauhi oleh pembeli lain, seringkali dengan harga diskon.
Secara agregat, impor batu bara China selama delapan bulan pertama meningkat hampir dua kali lipat menjadi 306 juta ton, lebih besar dari yang biasanya diterima negara ini dalam satu tahun penuh.
Citic Securities Co. memperkirakan impor batu bara China sepanjang tahun ini akan meningkat menjadi 400 juta hingga 420 juta ton.
Salah satu penyebab batu bara RI tak lagi dilirik China adalah kualitasnya yang rendah, meski harganya murah. Raksasa Asia Timur itu kini sedang berburu batu bara kualitas tinggi –baik untuk kokas maupun termal– dari Australia dan Rusia, lantaran produksi domestik mereka mengalami penurunan kualitas akibat penambangan berlebihan untuk kebutuhan pembangkit, di tengah ketakutan Presiden Xi Jinping atas risiko krisis kelistrikan.
(wdh)