“Karena produksi batu bara itu kan ditargetkan oleh pemerintah, termasuk ada target PNBP [penerimaan negara bukan pajak] dan royalti dari batu bara untuk APBN. Target PNBP dari batu bara selalu dipatok cukup tinggi. Tahun lalu, kita dapat 700 juta ton produksi, 80%-nya untuk ekspor,” terangnya.
Dia pun memperingatkan agar pemerintah dan pelaku industri mengantisipasi kemungkinan permintaan batu bara China akan turun pada 2024 dibandingkan dengan tahun lalu. Pada 2022, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), volume ekspor batu bara RI ke China mencapai 69,68 juta ton atau melorot drastis dari tahun sebelumnya sebanyak 108,48 juta ton.
“Pada 2022 memang exceptional. Tingkat produksi kita tinggi, ekspor ke China juga tinggi. Kondisi ini harusnya disadari tidak akan bertahan lama. Jadi, memang kita sudah harus mulai menurunkan target produksi sehingga RKAB 2024—2025 itu tidak lagi tinggi seperti tahun-tahun sebelumnya,” tutur Fabby.
Dengan mematok target rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) yang moderat untuk batu bara, pelaku industri pun diharapkan dapat mengelola rencana produksinya secara lebih tertakar.
“Kan perusahaan butuh modal kerja juga, butuh alat berat. Kalau pemerintah target ekspornya tinggi, nanti saya khawatir industri batu bara jadi tidak sehat,” terangnya.
Harapan dari Dalam Negeri
Meski diadang tantangan penyempitan pasar ekspor, Fabby menilai bisnis batu bara masih akan bertahan dengan mengandalkan permintaan dari dalam negeri, setidaknya sampai dengan 2050.
Pun demikian, Fabby memperkirakan permintaan batu bara dari dalam negeri sendiri akan mencapai puncaknya pada 2030, dengan perkiraan sekitar 180 juta—200 juta ton pepr tahun, sebelum akhirnya mulai melandai pada dekade-dekade selanjutnya.
“Namun, memang yang harus diwaspadai itu pasar ekspor —baik ke China maupun ke India— yang pangsa pasarnya sampai 60% dari batu bara kita. China juga kecenderungannya mereka mengintensifkan produksi dalam negeri dan mengurangi impor karena cadangannya masih banyak. Sama kondisinya dengan India,” terang Fabby.
Belum lagi, sambungnya, kedua negara konsumen utama batu bara Indonesia itu juga tengah berpacu mengembangkan energi baru dan terbarukan (EBT) untuk baruan ketenagalistrikan di dalam negeri mereka, sehingga perlahan tetapi pasti, mereka pun akan mengurangi permintaan batu bara.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia pun tidak menampik pelaku industri batu bara dalam negeri mulai waswas dengan risiko makin menyempitnya pasar ekspor ke China, di tengah kecenderungan Negeri Panda yang mulai beralih jorjoran mengimpor emas hitam kualitas tinggi dari Australia dan Rusia.
Ke depan, kendati volume ekspor batu bara ke China masih memiliki peluang untuk terus dipacu, Hendra menyebut nilainya mungkin akan merosot seiring dengan anjloknya harga batu bara yang terjerembap lebih dari 50% harga tahun lalu.
“Ya itu pasti berpengaruh sih, tetapi dari sisi jangka pendek, kami lihat belum ada dampak signifikan. Negara-negara importir kita belum peak [permintaannya]. Dalam artian, penggunaan kapasitas batu bara termalnya belum sampai puncak, termasuk di China dan beberapa negara lain. Namun, okelah, dalam jangka menengah atau panjang pasti dampaknya akan besar. Memang terpengaruh, tetapi untuk jangka pendek rasanya belum,” tutur Hendra.
Untuk diketahui, pada Agustus 2023, impor batu bara China memecahkan rekor bulanan tertinggi sepanjang masa dengan capaian 44 juta ton. Akan tetapi, pemesanan batu bara dari Indonesia justru anjlok.
Data terbaru Bea Cukai China menunjukkan pengapalan batu bara RI ke China pada bulan lalu hanya 5,89 juta ton, melorot ke peringkat keempat sebagai negara pemasok energi fosil terbesar ke Negeri Panda.
Biasanya, Indonesia merupakan penyuplai batu bara terbesar China. Namun, bulan lalu impor emas hitam Beijing rupanya lebih didominasi oleh Rusia dengan 9,96 juta ton, Mongolia 6,84 juta ton, dan Australia 6,69 juta ton.
“Pengiriman batu bara Rusia dan Australia mengambil alih pangsa pasar dari eksportir terbesar China, yaitu Indonesia, pada tahun ini,” kata Amy Xu, seorang analis di Fenwei Energy Information Service Co., dilansir Bloomberg News, Kamis (21/9/2023).
Secara agregat, impor batu bara China selama delapan bulan pertama meningkat hampir dua kali lipat menjadi 306 juta ton, lebih besar dari yang biasanya diterima negara ini dalam satu tahun penuh.
Citic Securities Co. memperkirakan impor batu bara China sepanjang tahun ini akan meningkat menjadi 400 juta hingga 420 juta ton.
Salah satu penyebab batu bara RI tak lagi dilirik China adalah kualitasnya yang rendah, meski harganya murah. Raksasa Asia Timur itu kini sedang berburu batu bara kualitas tinggi –baik untuk kokas maupun termal– dari Australia dan Rusia, lantaran produksi domestik mereka mengalami penurunan kualitas akibat penambangan berlebihan untuk kebutuhan pembangkit, di tengah ketakutan Presiden Xi Jinping atas risiko krisis kelistrikan.
(wdh)