“Ya tetapi enggak ngaruh banget, karena kan beda pasarnya. Lagipula, secara komersial, batu bara Australia kan lebih tinggi [harganya]. Kalau China lihat batu bara Australia lebih mahal, ya ngapain dia impor? Rusia juga sama, tinggi kalorinya, tetapi China akan lihat kalau harganya lebih mahal, ngapain dia impor? Kalau Indonesia kan beda; kalorinya rendah, di-blending dengan batu bara mereka [China],” kata Hendra.
Dia pun mengaku tidak khawatir pangsa pasar batu bara RI di China akan digeser oleh Australia maupun Rusia, meski pertumbuhan permintaannya mulai melambat. Terlebih, sebanyak 61% impor batu bara Beijing adalah dari Indonesia.
Waspada Tekanan Harga
Walau bagaimanapun, Hendra tidak menampik prospek pasar batu bara sedang tidak cerah lantaran terus digempur oleh tekanan harga. Terlebih, Indonesia masih melihat China sebagai salah satu pangsa ekspor terbesar.
“Cuma gini ya, China itu pragmatis. Memang sekarang ada isu ini, tetapi mereka tuh akan membandingkan dengan harga domestiknya. Apalagi, produksi China sama Australia itu sama, kualitasnya juga hampir sama. Ngapain mereka beli lebih mahal? Dari sudut pandang pengusaha sih begitu,” ujarnya.
Ke depan, kendati volume ekspor batu bara ke China masih memiliki peluang untuk terus dipacu, Hendra menyebut nilainya mungkin akan merosot seiring dengan anjloknya harga batu bara yang terjerembap lebih dari 50% harga tahun lalu.
“Ya itu pasti berpengaruh sih, tetapi dari sisi jangka pendek, kami lihat belum ada dampak signifikan. Negara-negara importir kita belum peak [permintaannya]. Dalam artian, penggunaan kapasitas batu bara termalnya belum sampai puncak, termasuk di China dan beberapa negara lain. Namun, okelah, dalam jangka menengah atau panjang pasti dampaknya akan besar. Memang terpengaruh, tetapi untuk jangka pendek rasanya belum,” tutur Hendra.
Untuk diketahui, pada Agustus 2023, impor batu bara China memecahkan rekor bulanan tertinggi sepanjang masa dengan capaian 44 juta ton. Akan tetapi, pemesanan batu bara dari Indonesia justru anjlok.
Data terbaru Bea Cukai China menunjukkan pengapalan batu bara RI ke China pada bulan lalu hanya 5,89 juta ton, melorot ke peringkat keempat sebagai negara pemasok energi fosil terbesar ke Negeri Panda.
Biasanya, Indonesia merupakan penyuplai batu bara terbesar China. Namun, bulan lalu impor emas hitam Beijing rupanya lebih didominasi oleh Rusia dengan 9,96 juta ton, Mongolia 6,84 juta ton, dan Australia 6,69 juta ton.
“Pengiriman batu bara Rusia dan Australia mengambil alih pangsa pasar dari eksportir terbesar China, yaitu Indonesia, pada tahun ini,” kata Amy Xu, seorang analis di Fenwei Energy Information Service Co., dilansir Bloomberg News, Kamis (21/9/2023).
Secara agregat, impor batu bara China selama delapan bulan pertama meningkat hampir dua kali lipat menjadi 306 juta ton, lebih besar dari yang biasanya diterima negara ini dalam satu tahun penuh.
Citic Securities Co. memperkirakan impor batu bara China sepanjang tahun ini akan meningkat menjadi 400 juta hingga 420 juta ton.
Salah satu penyebab batu bara RI tak lagi dilirik China adalah kualitasnya yang rendah, meski harganya murah. Raksasa Asia Timur itu kini sedang berburu batu bara kualitas tinggi –baik untuk kokas maupun termal– dari Australia dan Rusia, lantaran produksi domestik mereka mengalami penurunan kualitas akibat penambangan berlebihan untuk kebutuhan pembangkit, di tengah ketakutan Presiden Xi Jinping atas risiko krisis kelistrikan.
Menanggapi isu tersebut, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan Indonesia tidak perlu khawatir mengenai hal tersebut lantaran energi fosil batu bara diperkirakan masih akan tetap digunakan seiring dengan munculnya teknologi baru yang bisa menyimpan karbon seperti carbon capture storage (CCS).
"Tidak, tidak khawatir," ujar Luhut saat ditemui di sela acara Uni Emirates Arab and Indonesia Business Economic Forum, Kamis (21/9/2023).
"Saya pikir dalam 5 tahun ke depan kita enggak tahu. Bisa saja orang kembali pakai batu bara karena CO2-nya bisa di-capture [tanggap] dan dimasukkan ke [CCS] itu tadi. We never know. Teknologi itu menurut saya sky is the limit," sambungnya.
(wdh)