Logo Bloomberg Technoz

Gara-gara Beras dan BBM, BI Belum Bisa Turunkan Bunga Acuan

Ruisa Khoiriyah
21 September 2023 18:05

Pedagang beras melayani pembeli di Pejaten, Senin (11/9/2023). (Bloomberg Technoz/ Andrean Kristianto)
Pedagang beras melayani pembeli di Pejaten, Senin (11/9/2023). (Bloomberg Technoz/ Andrean Kristianto)

Bloomberg Technoz, Jakarta - Tekanan besar yang masih dihadapi oleh nilai tukar rupiah saat ini ditambah risiko lonjakan harga pangan, mempersempit ruang bagi Bank Indonesia dalam menimbang dimulainya siklus pemangkasan bunga acuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lebih cepat.

Rupiah masih menghadapi ancaman ketidakpastian global yang bersumber dari kebijakan bunga tinggi khususnya di negara-negara maju yang bisa memicu arus keluar modal asing dari pasar domestik. Penegasan posisi kebijakan hawkish Federal Reserve semakin menyempitkan ruang bagi bank sentral untuk memulai siklus penurunan bunga acuan.

Di sisi lain, dampak El Nino yang diprediksi mengakibatkan panen mundur, membayangi outlook inflasi Indonesia walau bank sentral menegaskan masih optimismtis inflasi Indeks Harga Konsumen masih terkendali di sasaran target di mana pada 2024 akan terjangkar di 2,8%. 

Bahkan alih-alih melihat ruang dimulainya siklus penurunan bunga, ancaman lebih lanjut terhadap transaksi berjalan dengan pengetatan yang terus terjadi di pasar surat utang. Tingkat imbal hasil SUN 10 tahun telah melesat ke 6,8% sejatinya memberi sinyal bahwa para pengelola dana besar telah memperhitungkan kemungkinan kenaikan bunga BI7DRR. 

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengakui sejatinya ada ruang untuk meninjau ulang suku bunga kebijakan bank sentral, dalam hal ini terkait potensi dimulainya siklus pemangkasan BI7DRR. Terutama bila penilaian hanya dibatasi di lingkup perekonomian domestik yang telah mencatat inflasi terkendali dan membutuhkan dorongan untuk mengerek pertumbuhan ekonomi.