Hal ini terbukti dalam tahapan pengerjaan proyek muncul biaya tidak terduga yang mengakibatkan pembengkakan tidak diantisipasi dalam feasibility study, seperti pada tahapan pembebasan lahan.
Ketiga, kurang adanya keterlibatan pihak eksternal dan kurang berjalannya mekanisme checks and balances.
Keempat, informasi terkait legalitas dan dokumen kelayakan proyek terkesan tertutup dimana nyaris publik tidak dapat mengaksesnya. Salah satu faktor utamanya adalah buruknya keterbukaan informasi terkait proses pra-pengerjaan proyek.
Dokumen-dokumen penting seperti laporan tahunan proyek kereta cepat, laporan audit kereta cepat, HPS kereta cepat, KAK kereta cepat, dokumen kontrak kereta cepat, dokumen studi kelayakan kereta cepat, dan AMDAL kereta cepat pada website milik konsorsium BUMN termasuk Kementerian yang terkait hingga milik PT KCIC itu sendiri cenderung tidak tersedia dan/atau kurang memadai.
Proyek KCJB termasuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) di mana pelaksananya adalah PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) yang merupakan joint-venture antara konsorsium BUMN yaitu PT Pilar Strategi Sinergi BUMN Indonesia (WIKA, JSMR, PT KAI dan PTPN) dengan konsorsium perkeretaapian Tiongkok yakni Beijing Yawan HSR Co.Ltd. Konsorsium BUMN Indonesia menguasai 60% saham, sisanya dikuasai oleh China Railway International Co.Ltd.
Proyek yang diinisiasi sejak 2015 itu mengalami cost overrun atau pembengakakan biaya dari anggaran awal hingga US$ 1,2 miliar, yang akhirnya mendorong negara menyuntik modal segar pada PT KAI sebesar Rp3,2 triliun pada 2022, dan memberikan jaminan atas utang yang diberikan oleh China Development Bank (CBD).
Total dana APBN untuk proyek KCJB mencapai Rp7,3 triliun. Sementara pinjaman dari CBD diperkirakan mencapai Rp4,55 miliar, sekitar Rp64,9 triliun, berdasarkan penelitian hasil kajian.
Semula, pemerintah terlihat akan memilih kerjasama dengan Jepang. Akan tetapi, di ujung akhirnya China yang menang tender dengan alasan tawaran nilai proyeknya lebih murah. Sebagai perbandingan, Jepang mengajukan proposal US$ 6,2 miliar dengan bunga lunak 0,1% per tahun. Sementara China menawarkan US$ 5,57 miliar dengan bunga utang 2,1%.
Persoalannya, setelah China menang tender, terjadi pembengkakan biaya di mana nilainya melampaui yang ditawarkan Jepang yaitu hingga US$ 7,2 miliar dengan bunga lebih tinggi menjadi 3,4%. China juga meminta banyak hal mulai dari penjaminan APBN juga memperpanjang konsesi dari 40 tahun menjadi 80 tahun.
"White Elephant Projects"
Proyek KCJB termasuk satu dari empat proyek infrastruktur yang diteliti dalam kajian ICRAT. Tiga di antaranya adalah proyek Jembatan Pulai Balang di Ibu Kota Negara (IKN), kemudian proyek Pusat Pendidikan Pelatihan Sekolah Olaharaga Nasional (P3SON) Hambalang, juga proyek Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Sidrap 1 yang termasuk dalam kategori proyek investasi hijau.
"Keempat proyek tersebut dipilih karena adanya ketersediaan dan akses data, sumber pendanaan total nilai investasi besar, status proyek sudah selesai ataupun akan segera selesai, skema pengadaan beragam serta tingginya perhatian publik seperti sorotan hasil audit atau liputan media tentang kinerja yang tidak optimal, pelanggaran etik, dan sebagainya," tulis riset tersebut dikutip Kamis (21/9/2023).
Penelitian difokuskan untuk memahami dan mengidentifikasi serta menilai kerentanan sistemik dan risiko korupsi dalam tahap pemilihan proyek dalam siklus proyek infrastruktur.
Lebih lanjut, hasil kajian membeberkan, indikasi korupsi dalam proyek infrastruktur di Indonesia cenderung bervariasi didominasi risiko korupsi yang sangat tinggi.
Kajian baru itu menyimpulkan, proyek-proyek infrastruktur yang marak digalakkan selama kepemimpinan Presiden RI Joko Widodo dalam 10 tahun terakhir, mayoritas dinilai melanggar legal quality decision making atau pengambilan keputusan berkualitas hukum.
"Sebagai implikasi, proyek-proyek infrastruktur yang digeber Jokowi berpotensi digolongkan sebagai "white elephant projects". Istilah itu berarti, proyek-proyek infrastruktur yang dibangun tampak megah, akan tetapi keberadaannya telah memakain biaya tinggi dan defisit manfaat sosial," demikian ditulis kajian setebal 154 halaman tersebut.
"Jika kemudian terus tidak didasari pada proses pengambilan keputusan yang mengindahkan konsep legal quality decision making dan minim keterbukaan, infrastruktur era Jokowi akan dikenang sebagai pembangunan yang berbiaya tinggi, bernilai manfaat sosial rendah, bahkan menjadi beban ekonomi, sosial, dan ekologi secara jangka panjang,"
Transparency International Indonesia
Keempat proyek yang dianalisis dalam kajian keseluruhan gagal memenuhi aspek keabsahan hukum (lawfulness), efektivitas, efisiensi, dan legitimasi sosial dalam pengambilan keputusan, kecuali pada pembangunan proyek PLTB Sidrap I.
"Tampak jelas pembangunan proyek-proyek ini cenderung mengabaikan catatan kritis yang didasarkan pada kajian ilmiah, tidak memberikan kesempatan yang cukup kepada pihak yang terkena dampak untuk didengarkan kepentingannya, serta tidak mempertimbangkan fakta dan kepentingan pemangku kepentingan secara cermat, baik untuk konteks masa kini maupun masa depan," kata Transparency International.
Selain itu, seluruh proyek pekerjaan infrastruktur yang dipantau belum mampu memenuhi mandat rezim Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik Nomor 14 Tahun 2008. Bahkan, untuk pekerjaan yang diselenggarakan bukan oleh badan publik, hampir tidak ada inform asi yang diberikan baik dalam bentuk proaktif ataupun reaktif melalui kanal resmi dari pelaksana proyek tersebut. Padahal amanat regulasi ini secara tegas meminta agar Badan Publik menyediakan, memberikan dan/ atau menerbitkan informasi publik selain informasi yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan.
Transparency International merekomendasikan agar seluruh pemangku kepentingan untuk konsisten dan berkelanjutan mengupayakan perbaikan iklim investasi secara luas, meningkatkan kualitas koordinasi nyata dalam politik perencanaan proyek infrastruktur, melanjutkan reformasi kelembagaan dan regulasi lebih lanjut, serta meningkatkan transparansi terhadap informasi publik di lembaga-lembaga negara pada sektor infrastruktur.
Ragam permasalahan di atas tampak satu sama lain berkelindan dengan tingginya keinginan Presiden Joko Widodo untuk mengeksekusi secara cepat proyek infrastruktur.
"Jika kemudian terus tidak didasari pada proses pengambilan keputusan yang mengindahkan konsep legal quality decision making dan minim keterbukaan, infrastruktur era Jokowi akan dikenang sebagai pembangunan yang berbiaya tinggi, bernilai manfaat sosial rendah, bahkan menjadi beban ekonomi, sosial, dan ekologi secara jangka panjang," kata kajian yang di antaranya diarahkan oleh Danang Widoyoko, Clancy Moore dan Anna Grifin.
(rui/aji)