Oleh karena itu, penurunan surplus neraca perdagangan dapat disimpulkan merupakan akibat dari peningkatan impor. Penyebabnya bisa jadi akibat apresiasi nilai tukar rupiah.
Di hadapan dolar Amerika Serikat (AS), rupiah secara rata-rata ada di Rp 15.241,86/US$ pada Januari 2023. Jauh lebih kuat ketimbang rerata Desember 2022 yang Rp 15.597,36/US$.
Rupiah yang lebih kuat membuat barang-barang impor menjadi lebih murah, Akibatnya, dunia usaha pun memanfaatkan situasi ini untuk membeli produk dari luar negeri.
Meski begitu, situasi ini bukan selamanya buruk. Sebab impor Indonesia masih didominasi oleh bahan baku/penolong dan barang modal untuk keperluan produksi. Jadi impor akan memberikan nilai tambah bagi industri dalam negeri.
Ini tercermin dalam data aktivitas manufaktur yang diukur dengan Purchasing Managers’ Index (PMI). S&P Global melaporkan, skor PMI manufaktur Indonesia pada Januari 2023 ada di 51,3. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 50,9, tertinggi sejak Oktober 2022.
PMI menggunakan angka 50 sebagai titik start. Skor di atas 50 menunjukkan ekspansi, bukan kontraksi. PMI manufaktur Indonesia sudah 17 bulan beruntun ada di zona ekspansi.
Mengutip laporan S&P Global, produksi (output) dan pemesanan baru (new orders) meningkat pada Januari 2023, dan menjadi yang tertinggi dalam 3 bulan terakhir. Responden menyebut penjualan meningkat karena banyak pesanan, dan kondisi pasar sudah jauh lebih baik dibandingkan bulan-bulan sebelumnya.
Peningkatan permintaan secara umum membuat dunia usaha di Tanah Air menambah pembelian bahan baku. Pembelian bahan baku meningkat selama 17 bulan beruntun.
Dengan proyeksi pertumbuhan yang baik, perusahaan memberi sinyal untuk menaikkan produksi hingga tahun depan. Permintaan diperkirakan tetap tinggi di tengah harapan kestabilan pasar.
(aji)