Seperti diketahui, KCJB dioperasikan oleh PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC). Adapun PSBI memegang saham KCIC hingga 60%--selebihnya milik Beijing Yawan HSR Co Ltd.
PSBI merupakan gabungan dari empat BUMN. KAI menjadi pemegang saham mayoritas PSBI dengan kepemilikan saham 51,38%. Pemegang saham lainnya adalah PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) dengan kepemilikan 39,11%, PT Perkebunan Nusantara VII sebesar 1,21%, dan PT Jasa Marga Tbk (JSMR) sekitar 8,3%.
Adapun sebelumnya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya meyakini bahwa penjaminan utang pada proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) tidak akan membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia.
Aturan pelaksanaan berupa Permenkeu No. 80/2023 merupakan implikasi dari cost overrun [kenaikan atau perubahan biaya] proyek KCJB. Sedangkan risiko pembiayaan menjadi ditanggung oleh konsorsium BUMN sebagai pemilik 60% saham di KCIC.
Manajemen risiko atas kebijakan ini juga telah ditetapkan. Sri Mulyani menjelaskan beberapa tahapan manajemen risiko, seperti, pertama, melalui proses audit sehingga akuntabilitas proyek terjaga.
“Juga kejelasannya, kenapa terjadi itu [hasil review] bisa dijelaskan oleh, baik BPKP maupun BPK. Kedua, dari sisi risiko kita waktu itu dalam Komite [Komite Kereta Cepat Jakarta-Bandung], yang terdiri dari Menko [Marves] Pak Luhut, Menhub[Budi Karya Sumadi], Menteri BUMN [Erick Thohir], Menkeu, menetapkan bahwa PT KAI memiliki tambahan pendapatan,” jelas Sri Mulyani di Jakarta, Selasa (19/9/2023).
Tambahan pendapatan yang dimaksud Sri Mulyani adalah pemanfaatan bisnis pengangkutan batu bara di Sumatera milik PT Bukit Asam Tbk (PTBA).
“Dari situ akan mendapatkan revenue [pendapatan] yang menjadi salah satu sumber untuk PT KAI memiliki kekuatan keuangan untuk bisa bayar kembali,” ucap dia.
Dengan posisi PT KAI terkini, artinya pinjaman KAI bisa diselesaikan sesuai kesepakatan dan pemerintah menjamin hal tersebut melalui APBN.
(mfd/ain)