Logo Bloomberg Technoz

Obligasi negara Asia selain China, kemungkinan juga akan diuntungkan oleh arus pasar pendapatan tetap yang berputar menjauh dari China daratan karena perbedaan suku bunga acuan yang kurang menarik ditambah ketidakpastian atas risiko geopolitik. 

Menurut ekonom Samuel Asset Management Dwi Widodo, ada beberapa tiga katalis penguatan rupiah yang mendorong para analis asing bullish terhadap rupiah dan menyebut mata uang garuda sebagai currency carry trade terbaik.

Pertama, angka surplus neraca dagang masih tinggi. Kedua, kepemilikan asing di SUN masih rendah sehingga membuka potensi aliran modal asing masuk yang besar ke SBN. Ketiga, potensi pelemahan dolar AS diiringi oleh penguatan yuan China di mana pergerakan rupiah lebih berkorelasi positif dengan yuan. Pandangan bullish pelaku pasar global terhadap rupiah juga diperkuat data ekonomi terakhir yang menunjukkan inflasi menjinak dan pertumbuhan ekonomi melampaui ekspektasi. 

Dengan semua hal itu, rupiah memang memiliki alasan untuk menguat pada tahun ini. Namun, Dwi menilai akan sulit bagi rupiah untuk melesat ke level Rp 14.200 per dolar AS menilik beberapa downside risk yang bisa menjegal penguatan. Pertama, penurunan harga komoditas ekspor utama Indonesia yang bisa menekan surplus neraca dagang. Kedua, Bank Indonesia yang diprediksi berhenti menaikkan bunga acuan tahun ini. Ketiga, capital inflow mungkin saja tidak setinggi harapan mengingat selisih imbal hasil secara historis kurang menarik bagi pemodal asing. Keempat, potensi kenaikan risiko politik pada semester kedua 2023. 

“Dengan melihat katalis dan risiko tersebut, kami memprediksi USD/IDR akan menguat ke kisaran 14.800-15.000 pada akhir 2023, dengan peluang penguatan ke level 14.500-an pada pertengahan tahun,” jelas Dwi pada Bloomberg Technoz, Senin malam (13/2/2023).

Surplus neraca dagang mungkin akan berkurang akan tetapi bakal tertutup aliran modal asing yang masuk ke SBN dan repatriasi Devisa Hasil Ekspor (DHE) yang akan menyokong kekuatan cadangan devisa. 

Hati-hati Volatilitas

Pamor rupiah yang tengah naik daun sebagai valuta favorit untuk aksi carry trade membuka risiko peningkatan fluktuasi mata uang garuda. Menurut Dwi, peningkatan fluktuasi rupiah didasarkan pada kondisi rasio cadangan devisa terhadap Utang Luar Negeri (ULN) jangka pendek yang saat ini angkanya relatif rendah, sekitar dua kali. “Juga, rasio cadangan devisa terhadap impor yang terus turun sejak 2020,” tambah Dwi.

Ditambah lagi ada risiko pelemahan dalam 2-3 bulan ke depan seiring jatuh temponya beberapa SUN berdenominasi dolar AS alias global bond dan kenaikan impor minyak oleh Pertamina menyusul kenaikan permintaan BBM saat lebaran datang. “Alhasil, penguatan rupiah dari carry trade itu tidak akan sustain atau bertahan lama,” tutup Dwi.

(rui/bbn)

No more pages