Logo Bloomberg Technoz

Yang terakhir adalah pembengkakan biaya proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung yang membuat negara merogoh kocek lebih besar dan memberikan jaminan atas utang pada China.

Kajian yang dilakukan oleh Centre of Economy and Law Studies (CELIOS) beberapa waktu lalu memperingatkan Indonesia perlu menyiapkan mitigasi agar berbagai risiko terkait kerjasama dengan Tiongkok tidak malah menjerumuskan Indonesia dalam apa yang dikenal sebagai jebakan utang China. 

"Kekhawatiran itu bukan tanpa dasar berkaca dari negara-negara yang terlibat dalam proyek Belt and Road Initiative yang beberapa telah dinyatakan gagal bayar. Ada banyak faktor lain juga yang bisa menyebabkan risiko jeratan utang di antaranya karena China memberi pembebanan skema kredit yang tinggi," kata M. Zulfikar Rakhmat dan Yeta Purnama, analis CELIOS, dikutip Rabu (20/9/20230).

Bukan cuma bunga tinggi, syarat pinjaman yang mewajibkan negara pengutang membeli 70% bahan baku dari China dan mempekerjakan tenaga kerja dari Tiongkok dalam jumlah besar, termasuk tenaga kerja kasar, juga memicu polemik tersendiri. Belum lagi kewajiban bagi negara pengutang memakai mata uang lokal, rupiah dan yuan, dalam transaksi juga melahirkan risiko mengingat langkah China yang sering mendevaluasi mata uangnya.

Hal itu, menurut analis, dapat membuat banjir produk China dengan harga jauh lebih murah, mengancam produk lokal.

"Pemerintah perlu memastikan bahwa keterlibatan RI dalam Inisiatif tersebut bukan hanya menguntungkan salah satu pihak saja. Pemerintah perlu menyadari bahwa dalam proses implementasi Belt and Road, China lebih membutuhkan Indonesia daripada sebaliknya karena posisi penting RI yang strategis di Asia Tenggara," demikian disebut dalam hasil kajian tersebut.

AidData mencatat, ada sekitar 9 proyek infrastruktur di bawah payung Belt and Road Initiative di Indonesia yang terindikasi skandal dan kontroversi, mulai dari permasalahan biaya utang, isu lingkungan hidup, juga tata kelola yang buruk, kecelakaan kerja dan persoalan ketenagakerjaan. 

Pembiayaan

Salah hitung perkiraan kebutuhan investasi awal dalam proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung telah memicu cost overrun alias pembengkakan biaya hingga US$ 1,2 miliar.

Indonesia harus menambah utang dari China Development Bank senilai US$ 560 juta agar proyek terus berjalan dan memberikan jaminan melalui PT Penjamin Infrastruktur Indonesia, BUMN penjaminan.

Lingkungan hidup

Beberapa proyek di mana Tiongkok terlibat terindikasi memicu masalah lingkungan. Misalnya, banjir di kawasan proyek PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) yang disebut oleh WALHI sebagai dampak dari ekspansi proyek yang mengikis hutan. 

Aktivitas PT IMIP di Morowali, sebagaimana dilansir oleh Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) telah menyebabkan pencemaran air laut hingga berubah warna menjadi hitam karena timbunan batu bara dalam jumlah besar yang terseret ke pembuangan air panas. Ada kekhawatiran saat hujan deras, cemaran berbahaya itu akan mengalir langsung ke laut, mematikan biota laut dan mengakibatkan penurunan tangkapan para nelayan. 

Sementara itu, riset yang dilakukan oleh University of Queensland Australia tahun lalu menyebut, habitat satwa orangutan di Tapanuli, Sumatra Utara, terancam punah dan menyisakan 800 ekor akibat berlangsungnya proyek pembangunan Bendungan Batang Toru.

Bendungan itu dibangun untuk PLTA yang merupakan kongsian antara North Sumatra Hydro Energy, PT PLN Persero dan Sinohydro yang didukung oleh SDIC Power Holdings asal China. 

Keselamatan Kerja

Beberapa proyek di bawah payung Inisiatif juga melahirkan banyak masalah ketenagakerjaan. CELIOS menyebut, salah satunya adalah yang terjadi di PT Gunbuster Nickel Industry di Morowali, yang menelan dua korban jiwa akibat ledakan tungku smelter.

Pekerja di proyek disebut harus membeli Alat Pelindung Diri secara mandiri, tidak disediakan oleh perusahaan. 

Beberapa insiden mirip juga pernah terjadi di beberapa smelter nikel milik China. Seperti kecelakaan kerja di Weda Bay Industrial Park pada 2021-2022 yang memakan korban jiwa 4 orang, lalu insiden di Huadi Nickel Alloy Indonesia, dan lain sebagainya. 

Jebakan Utang China 

Sampai Juli 2023, posisi Utang Luar Negeri Indonesia pada China telah menembus US$ 21,21 miliar atau sekitar Rp326,3 triliun, melompat 130% dalam 10 tahun terakhir, tidak bisa dilepaskan dari keterlibatan Indonesia dalam Inisiatif Sabuk dan Jalan China.

Posisi Utang Luar Negeri RI kepada China meningkat lebih dari tiga kali lipat selama 10 tahun terakhir (Div. Riset Bloomberg Technoz)

Sejumlah negara sejauh ini banyak yang telah terjatuh dalam jebakan utang China. Misalnya, Uganda yang mendapatkan pinjaman senilai US$ 207 juta dari Tiongkok untuk pembangunan bandara internasional. Namun, karena tidak mampu membayar utang, negeri di Afrika itu harus merelakan kepemilikan bandara pada kreditur.

Sri Lanka juga bernasib mirip. Negeri di Asia Selatan itu menerima pinjaman sekitar US$ 1,5 miliar dari China untuk membangun pelabuhan. Akibat tidak mampu membayar, hak milik pelabuhan itu jatuh ke Tiongkok.

Hal yang sama terjadi pada Zimbabwe yang mengalami krisis utang akibat 'kecanduan' utang dari China dan berakhir mengizinkan yuan sebagai mata uang alternatif yang legal sejak 2016.

"Banyak negara yang menerima investasi China mengalami masalah, salah satunya karena mereka tidak memiliki keahlian keahlian teknis untuk menilai ketentuan kontrak proyek atau kesinambungan mekanisme utang serta kesulitan menavigasi proses sengketa dalam skema Belt and Road Initiative. Pasalnya, pinjaman itu beroperasi di luar sistem moneter standar internasional sehingga perlindungannya juga terbatas. Sebagai konsekuensi, negara yang terjebak punya lebih sedikit pilihan mencari bantuan ketika terlilit utang sehingga menempatkan China dalam posisi diuntungkan karena mendapat konsesi dan aturan pinjaman yang ditetapkan sendiri," tulis Zulfikar dan Yeta.

Indonesia, oleh karena itu, sebaiknya waspada dan menyiapkan mitigasi sebelum terlambat.

(rui/aji)

No more pages