Oleh karena itu, tekanan bagi BI untuk menaikkan suku bunga acuan sudah mereda karena Fed pun sepertinya sudah selesai dalam pengetatan moneter. Menurut CME FedWatch, kemungkinan Federal Funds Rate tetap di 5,25-5,5% pada Desember adalah 59,8%. Bahkan ada kemungkinan 35,4% untuk turun 25 basis poin (bps) ke 5-5,25%.
“Pasar sudah memperkirakan bahwa AS akan mengalami soft landing, dengan suku bunga sudah mencapai puncak dan pertumbuhan ekonomi akan terakselerasi,” tegas Lisa Shalett dari Morgan Stanley Wealth Management, seperti dikutip dari Bloomberg News.
Rupiah dalam Tekanan
Akan tetapi, kali ini tekanan untuk menaikkan suku bunga acuan datang dari nilai tukar rupiah. Akhir-akhir ini, mata uang Tanah Air mengalami pelemahan yang cukup dalam.
Dalam sepekan terakhir, rupiah melemah 0,26% terhadap dolar AS. Sejak akhir Agustus, depresiasi rupiah nyaris mencapai 1%.
Pada 20 September pukul 11:28 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 15.398. Rupiah berada di posisi terlemah sejak Maret lalu.
Salah satu faktor yang menciptakan tekanan terhadap rupiah adalah harga minyak. Maklum, Indonesia adalah negara net importir migas.
Ketika harga naik, biaya impor pun membengkak sehingga lebih banyak valas yang ‘terbakar’. Pasokan valas domestik pun terkuras sehingga rupiah melemah.
Dalam sepekan terakhir, harga minyak jenis Brent melesat 2,68%. Selama sebulan ke belakang, harga meroket 12,41%.
“Jika kenaikan harga minyak terus berlanjut, maka dampaknya terhadap neraca pembayaran akan meningkat. Ini tentu mempengaruhi kondisi rupiah,” sebut Putera Satria Sambijantoro, Ekonom Bahana Sekuritas.
BI Pilih Intervensi
Dalam RDG bulan lalu, Gubernur Perry Warjiyo sudah memberi kode keras bahwa mengatasi pelemahan rupiah tidak selalu dengan menaikkan suku bunga. BI lebih memilih melakukan intervensi di pasar.
"Jamunya bukan suku bunga, jamunya adalah intervensi di pasar spot maupun Domestic Non-Deliverable Forwards. Itu yang terus kami stabilkan, alhamdulillah pelemahan (rupiah) relatif rendah. Itu cara kita memproteksi ekonomi domestik dari rambatan global," terang Perry.
Namun, ‘jamu’ yang dipilih BI bukan tanpa efek samping. Cadangan devisa Indonesia berkurang karena dijadikan ‘amunisi’ untuk menjaga rupiah.
Per akhir Agustus, cadangan devisa tercatat US$ 137,1 miliar. Berkurang US$ 600 juta dibandingkan bulan sebelumnya sekaligus jadi yang terendah sejak Oktober tahun lalu.
“Penurunan posisi cadangan devisa tersebut antara lain dipengaruhi oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah dan kebutuhan untuk stabilisasi nilai tukar rupiah sejalan dengan meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global,” ungkap keterangan tertulis BI.
(aji)