Beberapa orang yang mungkin meremehkan usaha baru TikTok. Mereka sebelumnya percaya jika orang Amerika tidak memiliki kebiasaan berbelanja melalui video.
Untuk diketahui Meta Platforms Inc. pernah melakukannya, namun fitur ini dihentikan tahun lalu pada aplikasi Facebook.
Indonesia menawarkan kisah yang lebih dulu terjadi. Dua tahun lalu, TikTok Shop hadir dan proyek ini tengah siap untuk mengalahkan perusahaan e-commerce terbesar ketiga di Indonesia, Lazada—yang didukung Alibaba Group Holding Ltd. Lazada adalah pemain e-commerce yang telah hadir lebih dari satu dekade.
Profil pengguna AS dan Indonesia nyaris sama. Pengguna di Indonesia menghabiskan rata-rata satu jam sehari untuk menggunakan aplikasi TikTok.
Untuk saat ini, TikTok belum berfokus dalam bagaimana menghasilkan pendapatan lewat aplikasi di Indonesia—sebagai pasar terbesar kedua setelah AS dari sisi pengguna.
Fokus Tiktok adalah ingin membuktikan bahwa platformnya dapat membantu merek ataupun produsen mengubah perhatian pengguna menjadi penjualan. Strategi ini sangat memusingkan bagi para rival yang sudah mapan.
Shopee, platform e-commerce terbesar di Indonesia telah meraih untung untuk pertama kalinya pada akhir kuartal tahun lalu. Shopee adalah entitas bisnis e-commerce yang dibackup oleh Sea Ltd., yang berbasis di Singapura.
Namun Shopee mulai terusik. Ancaman persaingan nyata dan memaksa perusahaan mempercepat investasi untuk mendorong pertumbuhan. Hal yang pada ujungnya dapat mengurangi raihan keuntungan untuk Shopee.
Pada kuartal kedua, pendapatan operasional divisi e-commerce perusahaan tercatat US$66 juta, turun 40% dari kuartal yang berakhir pada bulan Desember. Bulan Juli, Alibaba memutuskan menambah investasi US$845 juta ke Lazada.
TikTok Shop membuat risau pada rival, sehingga pemerintah Indonesia mulai berbicara tentang pelarangan e-commerce pada platform media sosial, seakan menunjuk satu tersangka, TikTok.
Hal yang semakin pasti, kesuksesan terbesar TikTok menjadi platform sosial dan hiburan dan mampu menarik pengguna berusia lebih muda menghabiskan lebih banyak waktu di aplikasi ini dibandingkan Facebook.
Meski demikian TikTok belum menjadi tujuan terbaik bagi pengiklan tradisional. Tingkat konversinya, atau persentase pengguna yang melakukan tindakan yang diinginkan, hanya 1,85%, dibandingkan dengan 9,2% di Facebook, menurut data dari Momentum Works, perusahaan konsultan asal Singapura.
Basis penggunanya yang lebih muda dan format video layar penuh kemungkinan besar menjadi penyebabnya. Jadi, TikTok ingin melakukan diversifikasi dan mencari sumber pendapatan lain.
Pada musim panas ini, “pekerjaan gadis malas” menjadi tren di TikTok, karena pengguna Generasi Z mengungkapkan keinginan mereka mendapatkan pekerjaan yang menawarkan fleksibilitas dan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.
Bagaimana dengan lini live streaming dan social commerce? TikTok tentu sangat ingin bereksperimen.
(bbn)