Untuk itu, Komaidi mengatakan, Indonesia masih membutuhkan sokongan dari energi fosil dalam proyek-proyek industri hilir, terutama smelter.
Dalam kasus PLTU Adaro di Kaltara, Komaidi menilai smelter aluminium seluas 580 hektare (ha) yang dikembangkan korporasi tambang batu bara itu memang memerlukan pembangkit berkapasitas besar secara cepat.
“Ya, biasanya yang lebih cepat memang pakai energi fosil. Salah satunya ya PLTU. Mungkin kalau EBT-nya sudah berkembang, bertahap nanti PLTU-ya bisa dipensiunkan,” tuturnya.
Komaidi memerinci terdapat beberapa alasan mengapa industri hijau di Indonesia kesulitan untuk melepaskan diri dari jerat pembangkit batu bara. Salah satunya adalah karena persoalan teknis keberlanjutan pasok EBT dalam jangka pendek dan menengah.
“Karena kan butuhnya cepat, sementara potensi EBT apa yang ada di sana dan bisa dimaksimalkan cepat? Itu kan semuanya masih berproses. Jadi, saya kira kalau memang tujuannya memasok energi terlebih dahulu, nanti kalau sudah jalan dihentikan bertahap, saya kira itu alasan logis,” jelasnya.
Dihubungi secara terpisah, Ekonom dan Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan pembangunan PLTU batu bara yang disebut 'bridging' di KIHI tersebut tidak akan menjamin terjadinya peralihan ke pembangkit energi terbarukan.
"Apa investor ingin menutup PLTU batu bara ketika EBT-nya beroperasi? Jawabannya adalah sulit, karena biaya penutupan PLTU batu bara pastinya mahal. Isu yang dikhawatirkan PLTU batu bara justru akan memainkan peran yang dominan dalam kawasan industri hijau," tuturnya.
Dia menambahkan KIHI yang di-branding sebagai kawasan industri hijau, tetapi masih menggunakan pembangkit bertenaga fosil sebenarnya cukup membingungkan bagi konsumen produk akhir seperti industri mobil listrik hingga calon investor.
"Kalau judulnya ‘kawasan hijau’ dan ingin memproduksi barang untuk mereduksi emisi karbon, maka seluruh rantai pasoknya harus hijau atau rendah karbon. Ada inkonsistensi di sini," katanya.
Selanjutnya, kata Bhima, pembangunan PLTU batu bara terbukti mengandalkan perbankan domestik, karena bank internasional sudah tidak mau lagi mendanai proyek-proyek energi fosil —khususnya batu bara.
Dia berpendapat pemerintah maupun pemilik PLTU seharusnya tidak mengorbankan reputasi bank domestik untuk ikut terlibat dalam proyek yang tinggi emisi.
"Seharusnya, Kementerian ESDM tidak mengizinkan pembangunan PLTU batu bara baru di kawasan industri. Celios memberikan rekomendasi agar kawasan industri membeli listrik dari PLN, dengan catatan PLN terus memperbesar bauran energi terbarukan. Kalau masalahnya ada di transmisi ke kawasan industri, itu bisa dikerjasamakan antara PLN dengan investor kawasan."
Celios memperkirakan pembangunan PLTU berkapasitas 1 GW besutan Adaro Group di KIHI dinilai berisiko membawa kerugian ekonomi sekitar Rp4 triliun per tahun.
'Doktrin' Negara Maju
Dalam kesempatan terpisah, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan Indonesia tidak akan terpengaruh oleh desakan negara-negara maju untuk meninggalkan pembangkit batu bara dalam proyek-proyek industri hijau di dalam negeri.
Dalam kaitan itu, Luhut merespons kritik bahwa Indonesia masih saja menggunakan PLTU untuk kawasan industri hijau dan di tengah masifnya pengembangan ekosistem kendaraan EV berikut baterainya.
“Saya bilang, ekuilibriumnya harus ada. Kalau kamu menghentikan semua batu bara, ya matilah negeri ini. Jadi baseload itu harus tetap ada. Kalau pakai panel surya itu hanya bisa siang hari. Kan belum ada baterai yang bisa menyimpan [listrik tenaga surya dalam waktu panjang]. Nanti kalau ada teknologi itu, baru itu akan bisa,” ujarnya saat ditemui usai acara Marine Spatial Planning and Services Expo (MSPS) 2023, Selasa (19/9/2023).
Menurutnya, pemerintah masih mengizinkan kawasan industri hijau beroperasi menggunakan PLTU berbasis batu bara bukan tanpa alasan. KIHI di Kalimantan Utara, misalnya, menggunakan PLTU 1x1 GW dari Adaro Group untuk menghidupkan smelter aluminium yang akan digunakan untuk komponen EV.
“Semua sudah kami hitung dengan cermat. Nah ini kita [emisi karbonnya] baru 2,3 ton per kapita. Ingat, jadi kamu jangan dipengaruhi oleh pikiran-pikiran negara maju itu. Mereka emisinya sudah 15 ton per kapita. Bandingkan 2,3 ton per kapita dengan 15 ton per kapita,” tegasnya.
Setala, Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan penyebab pemerintah mengizinkan pembangunan PLTU di kawasan industri hijau adalah sebagai langkah utama sebelum nantinya pembangkit berbasis energi fosil itu dialihkan menggunakan energi hijau.
"Itu kan bridging saja sebelum energi baru masuk. Kan kalau mau pakai energi baru perlu infrastruktur dahulu, yang paling cepat bridging [dengan PLTU]," ujarnya saat ditemui di sela PYC International Conference 2023, Jumat (15/9/2023).
Saat dimintai konfirmasi, Head of Corporate Communication PT Adaro Energy Tbk. Febrianti Nadira menjelaskan PLTU yang tengah menjadi sorotan tersebut justru akan dibangun dengan cepat sehingga perseroan tidak kehilangan peluang untuk berpartisipasi dalam program penghiliran dan pengembangan ekonomi hijau di Tanah Air.
Dia menjelaskan proyek utama Adaro di KIHI sebenarnya adalah smelter aluminium, yang diharapkan membantu negara mengurangi impor aluminium, meningkatkan devisa dan penerimaan pajak, sekaligus berkontribusi menciptakan lapangan pekerjaan.
“Untuk dapat segera mewujudkan hal tersebut, maka smelter aluminium Adaro akan dibangun dalam tiga fase, dengan target kapasitas mencapai 1,5 juta ton,” ujarnya kepada Bloomberg Technoz, Jumat (15/9/2023).
Masing-masing fase akan memiliki kapasitas 500.000 ton. Saat ini, perseroan sedang memfokuskan pembangunan pada fase pertama yang akan menggunakan PLTU sebagai sumber energi karena keandalan dan biaya pembangkit listrik yang lebih efisien.
“Untuk tahap kedua, Adaro berencana akan menggunakan bauran kombinasi PLTU dengan sumber energi lain yang lebih ramah lingkungan,” lanjut Ira.
Adapun, pada tahap ketiga, perusahaan akan lebih lanjut melakukan transisi energi dengan sepenuhnya menggunakan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) sehingga akan menghasilkan produk aluminium yang ramah lingkungan.
(wdh)