Jika melihat perkembangan dalam beberapa dekade terakhir, China memang telah menjelma sebagai kekuatan yang tidak bisa dipandang remeh. China kini menjadi negara inovator, jauh dari kesan sebagai bangsa peniru pada periode silam.
China secara persisten mengembangkan berbagai bidang, salah satunya teknologi lewat perluasan industri cip, komputasi kuantun, robotika, ataupun lainnya. Berdasarkan laporan Bloomberg News, bahkan Beijing aktif mendorong pemodal swasta untuk bersatu, berkolaborasi dalam mewujudkan visi menjadi negara paling strategis di kancah global.
Partai Komunis, sebagai penguasa pemerintah, bahkan memberi kekuasaan lebih pada Kementerian Sains dan Teknologi dalam hal inovasi fundamental. Mereka membentuk badan nasional untuk mengawasi dan mengembangkan data sebagai sumber daya strategis. China menyebut sebagai strategi “bangsa”.
Pemerintah telah memberikan dukungan kepada startup yang menjanjikan di sektor-sektor strategis lewat keringanan pajak dan insentif keuangan lainnya. Pemerintah menunjuk sekitar 9.000 “little giants” sejak 2019, mendekati target 10.000 pada tahun 2025.
Presiden Xi aktif merangkul bahkan mengendalikan perusahaan-perusahaan teknologi China, seperti Alibaba dan Tencent. Tidak hanya lewat jalur pusat, pemerintah daerah ikut menawarkan kerja sama dengan perusahaan telekomunikasi swasta, seperti Huawei dan Hangzhou Hikvision Digital Technology pada tahun 2020.
Pengembangan telekomunikasi kemudian merambah perangkat software, salah satunya kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI). China terus membangun jaringan 5G guna mendukung rencana pengemudian otonom, pabrik otomatis —dan pengawasan massal.
Paparan ini hanyalah sedikit dari banyaknya inisiatif China, yang menyulut AS memperluas kebijakan luar negeri lewat sejumlah pembatasan, dengan sasaran Beijing. Tema yang kemudian berlanjut, tidak hanya sekadar perang dagang.
Persaingan strategis membuat AS “berperang” secara teknologi dengan China, caranya melakukan pembatasan perdagangan, daftar hitam, juga pembatasan investasi.
Secara paralel AS terus membangun kapasitas manufaktur domestik, ataupun mendukung industri teknologi, seperti semikonduktor, komputasi canggih, energi bersih, bahkan kendaraan listrik, melalui program subsidi dari pemerintahan.
Namun AS membatasi cip canggih, peralatan pembuatan cip dan perangkat software desain yang biasa diekspor ke China. Kebijakan AS juga membatasi pendanaan investasi negara ke beberapa perusahaan semikonduktor, komputasi kuantum, dan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) China.
Aksi AS membuat Presiden Xi melawan, hingga tensi Beijing-Washington memanas. China akan menjadi penyeimbang Amerika. Hofman memprediksi, dengan posisi China yang semakin vital dalam rantai pasokan global, persaingan AS-China akan terus berlanjut.
Isu keamanan, dari balon udara hingga pembatasan Huawei & iPhone
Awal tahun 2023 tensi kedua negara meninggi dengan dugaan aksi mata-mata China lewat balon yang ditembak oleh AS di di atas wilayah Kingstown, Carolina Utara, AS. AS menuduh balon ini merupakan alat untuk memata-matai mereka.
Hal yang menyulut kembali isu keamanan di kedua negara, sekaligus menjauhkan rekonsiliasi AS-China yang telah terbangun saat KTT G20 di Bali, bulan November 2022.
China, melalui Kementerian Luar Negeri menolak anggapan balon tersebut adalah mata-mata dan keberatan atas aksi penembakan. China mengklaim itu adalah prasarana penelitian akademik sipil, yang oleh angin menyebabkan balon masuk ke wilayah AS.
“Aksi AS berlebihan, kami sudah memberi penjelasan in adalah balon milik sipil,” kata juru bicara Kemenlu China. Namun salah satu sumber menyebut balon milik China dilengkapi dengan peralatan pengawasan buatan Amerika, seperti dilaporkan Wall Street Journal.
Meskipun balon tersebut dilengkapi dengan peralatan untuk mengumpulkan foto, video, dan informasi lainnya selama delapan hari perjalanannya di atas AS dan di beberapa wilayah Kanada, balon tersebut tampaknya tidak mengirimkan data apapun ke China.
Hal yang kemudian bertentangan dengan laporan sebelumnya oleh NBC News yang mengatakan bahwa China dapat mengirimkan informasi yang dikumpulkan secara real time. Hasil yang berhasil dikumpulkan sebagian besar dari sinyal elektronik dan bukan gambar, kata NBC News mengutip tiga pejabat senior dan mantan pejabat AS yang tak diketahui identitasnya.
Atas insiden balon, yang tidak disadari oleh Xi pada awalnya, membuat hubungan diplomatik AS-China kembali merenggang. Padahal Presiden AS Joe Biden meyakini bahwa Beijing ingin “kembali menjalin hubungan dengan AS.”
Terlepas dari itu semua China masih menghadapi kebijakan pemblokiran akses cip teknologi tinggi dari AS. Termasuk kebijakan sanksi AS terhadap produsen peralatan telekomunikasi, Huawei Technologies Co. Diketahui terdapat kontrol ekspor oleh Washington terhadap Huawei hingga perusahaan tidak dapat berkembang.
Namun perilisan smartphone terbaru dengan teknologi cip lokal — yang diketahui beberapa waktu setelahnya menggunakan semikonduktor SK Hynix, Korea Selatan— seolah jadi sinyal bahwa kebijakan AS mungkin tidak lagi berhasil menghalangi ambisi China untuk mengembangkan teknologi cip mereka.
Kebijakan AS lantas ‘dibalas’ China dengan melarang penggunaan iPhone dan produk asal luar negeri lain dengan klaim masalah keamanan. Kebijakan yang dituduh AS sebagai aksi balas dendam.
“Sepertinya ini adalah bagian dari pembalasan agresif dan tidak pantas kepada perusahaan-perusahaan AS yang pernah kita lihat dari China. Sejujurnya, kami tidak mengetahui tentang apa yang mereka lakukan dan mengapa, dan kami tentu akan menyerukan mereka agar lebih transparan tentang apa yang mereka lihat dan apa yang mereka lakukan,” kata Juru Vicara Dewan Keamanan Nasional AS John Kirby, Rabu (13/09/2023).
Beijing memperluas larangan penggunaan perangkat tersebut di departemen sensitif hingga lembaga-lembaga yang didukung oleh pemerintah, juga perusahaan milik negara, seperti dikonfirmasi langsung oleh Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Mao Ning, minggu lalu, meski tidak memberi alasan spesifik.
Namun, Ning menyebutkan, “China belum mengeluarkan undang-undang dan peraturan untuk melarang pembelian ponsel Apple atau merek asing lainnya,” di momen usai Apple merilis iPhone 15.
Jika Beijing melanjutkan pelarangan iPhone, blokade yang belum pernah terjadi sebelumnya ini akan menjadi puncak dari upaya lama untuk menertibkan perangkat berteknologi tinggi di lingkungan yang sensitif. Beijing terus berupaya mengurangi ketergantungannya pada perangkat software dan sirkuit asal AS.
Perang mungkin tertahan karena ekonomi China memburuk
Ambisi Xi untuk mewujudkan “kemandirian teknologi tingkat tinggi” mungkin akan tertahan karena kondisi ekonomi China sedang tidak baik-baik saja. Xi kini tengah menulis ulang pedoman baru dalam memperbaiki ekonomi China.
Perekonomian negara bernilai US$18 triliun itu tengah memburuk, realisasi ekspor menghadapi tantangan, daya beli konsumen turun. Harga-harga di pasar domestik mengalami penurunan, dan angka pengangguran menjadi catatan. Bahkan satu dari lima anak muda, menurut laporkan Bloomberg News, tidak memiliki pekerjaan.
Ini masih ditambah sektor properti, dimana terdapat 3.000 proyek milik Country Garden Holdings Co., mengalami penundaan di seluruh China, dan terancam gagal bayar. Berdasarkan kalkulasi Bloomberg Economics bahwa utang pengembang real estate telah mencapai nilai 13,6 triliun yuan (sekitar US$1,9 triliun). Angka yang setara dengan hampir 12% dari produk domestik bruto (PDB) China.
Diketahui terlepas dari ambisi pengembangan bidang manufaktur dan teknologi, China tumbuh lewat jalur real estate. Terjadi ekspansi dengan pembangunan yang berlebihan, dan diikuti oleh tingginya angka peminjaman. Namun kini penjualan rumah dan apartemen turun tajam. Harga properti juga ikut drop. Bloomberg menyatakan bahwa angka penurunan jauh lebih besar dibandingkan data rilisan resmi.
Ancaman ada di depan mata dan Beijing harus lebih banyak menderita di masa depan, khususnya bagi para pemilik properti dengan kejatuhan harganya. Para pengembang rugi besar, bank penyalur kredit terancam turun performanya. Dampak buruk juga dialami pemegang surat utang, hingga pemerintah daerah.
Penghapusan kebijakan Covid Zero dan tindakan secara tegas pada pengusaha, hingga turunnya kepercayaan konsumen menjadi tantangan lain bagi Beijing yang cenderung otoriter dalam menjalankan tata kelola pemerintahan.
Hal yang semakin diperparah —dengan menyusutnya populasi usia kerja hingga 240 juta dalam tiga dekade mendatang, juga kembali memanaskan hubungan dengan Amerika yang menimbulkan hambatan baru untuk pasar ekspor dan transfer teknologi.
- Dengan asistensi Tom Orlik
(wep/roy)